ANOMALI YURISPRUDENSI PUTUSAN BEBAS
- Menu-menu
- Font Size : A A A
- Kirim ke teman
- Print this page
- Gbookmarks
- 5 comments
Advokat dan Dosen Pengajar UMM
Diangsurkannya permohonan kasasi oleh JPU kepada Mahkamah Agung (MA) melalui PN Jakarta Selatan pasca putusan bebas terhadap Muhdi Pr, tak pelak telah mengundang kontroversi di kalangan ahli hukum di negeri ini. Pasalnya, KUHAP sendiri secara lugas menyatakan bahwa terhadap putusan bebas (vrijspraak) tidak boleh dikasasi. Begitu juga pada bagian penjelasan Pasal 244 KUHAP dikatakan sudah jelas. Lantas mengapa jaksa tetap nekad mengajukan permohonan kasasinya itu ke Mahkamah Agung (MA)? Apakah jaksa memiliki argument hukum yang lebih valid dan obyektif untuk mengabaikan ketentuan undang-undang (KUHAP)? Apakah MA akan menerima permohonan kasasi jaksa tersebut? Adakah implikasi hukumnya bagi penegakan sistim peradilan pidana dan mekanisme sistim checks and balance? Ikhwal diafirmasinya upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas tidak lain disandarkan kepada asas hukum yang mendalilkan bahwa peraturan yang tidak adil tidak perlu dipatuhi (ius contra legem). Selanjutnya secara definitif asas tersebut dipositifkan di dalam Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03. Tahun 1983 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, yang menyatakan bahwa atas alasan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Bak gayung bersambut, selang lima hari pasca terbitnya regulasi Kepmenkeh tersebut, MA melahirkan yurisprudensi yang mengabulkan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas terdakwa Natalegawa yang diajukan jaksa, melalui putusan MA Reg. No. 275/K/Pid/1983. Adapun legal reasoning yang digunakan MA untuk menjustifikasi kasasi terhadap putusan bebas, antara lain: pertama, asas ius contra legem; dan, kedua, konsepsi putusan bebas yang dibedakan atas bebas murni (vrijspraak) dan bebas tidak murni (verkapte vrijspraak). Menurut MA, indikator putusan vrijspraak yakni jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah. Sementara itu yang dimaksud dengan nomenklatur verkapte vrijspraak atau bebas tidak murni indikatornya yaitu: (i) jika putusan bebas itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan; (ii) jika dalam menjatuhkan putusan, pengadilan telah melampaui wewenangnya di ranah kompetensi absolut maupun relatif, serta memberikan pertimbangan yang bersifat non juridis. Terhadap katagori bebas tidak murni inilah kasasi wajib untuk diperiksa. (Yahya Harahap, 1985, 543-546) Kendati sistim hukum di Indonesia tidak menganut prinsip jurisprudensi mengikat (binding jurisprudence act atau stare decisis),namun dalam perkembangannya yurisprudensi yang dinisbahkan oleh MA, mengenal nomenklatur yurisprudensi tetap, yakni yurisprudensi yang wajib diikuti oleh hakim yang kemudian, sebab telah dirujuk berulang-ulang dan penerapannya berlangsung efektif. Dalam konteks yag demikian ini, yurisprudensi tentang kasasi atas putusan bebas merupakan salah satu yurisprudensi yang dikatagorikan yurisprudensi tetap. Hal ini dibuktikan dari berulangkalinya MA memeriksa kasasi terhadap putusan bebas, misalnya terhadap kasus-kasus: Natalegawa, Newmont, Korupsi Hilton dll. Jurisprudensi Inskonstitusional Bepijak dari riwayat kelahiran dan penerapan yurisprudensi kasasi terhadap putusan bebas oleh institusi MA selama ini, maka tak pelak pengajuan kasasi oleh JPU Cyrus Sinaga terhadap putusan bebas Muhdi Pr adalah benar adanya. Selanjutnya Jaksa tinggal membuktikan putusan bebas Muhdi Pr adalah putusan bebas tidak murni (verkopte vrijspraak). Namun persoalannya adalah sesederhana itu, di dalam era reformasi hukum yang berobsesi untuk mewujudkan paradigma negara hukum yang demokratis dengan bersendikan prinsip trias politika beserta derivasinya yakni prinsip cheks and balances, maka legalitas yurisprudensi tetap sebagai dasar pijakan untuk mengenyampingkan produk hukum undang-undang (KUHAP) patut dipertanyakan validitasnya. Pada masa lalu ijtihad atau rechtvinding yang dilakukan oleh MA melalui instrumen yurisprudensi untuk mengisi kevakuman hukum bahkan kerapkali menganulir materi peraturan setingkat undang-undang berdasar dalil ius contra legem memang dapat dimaklumi. Pasalnya, sistem hukum ketatanegaraan kita sebelum era reformasi tidak mengenal pranata uji materi (judicial review/ toetsingrecht) terhadap peraturan setingkat UU. Instrumen review itupun kalau ada baru sebatas kepada peraturan di bawah UU, dan yang memiliki otoritas untuk melakukannya tidak lain adalah MA. Oleh karena itu wajar jika kemudian MA tidak saja berperan sekedar corong UU belaka, melainkan berinisiatif untuk melakukan temuan dan terobosan hukum melalui keputusan-keputusannya di pengadilan (judge made law). Namun saat ini legal reasoning yang digunakan untuk menjustifikasi yurisprudensi MA atas dasar ius contra legem dapat mengabaikan UU, jelas sudah tidak relevan lagi bahkan inskonstitusional. Sebab menurut konstitusi, UU hanya dapat dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan bukannya oleh MA. Hal demikian ini sejalan dengan semangat era reformasi hukum yang salah satu misinya adalah konsolidasi sistim ketatanegaraan dan validasi regulasi melalui amandemen UUD 1945. Melalui perubahan jilid ketiga, MK didaulat sebagai lembaga yang memuncaki kekuasaan kehakiman bersama dengan MA. Selain itu MK dibekali sejumlah kewenangan yang tidak dimiliki MA, namun mengenai kewenangan untuk melakukanjudicial review, kedua lembaga tinggi hukum itu sama-sama memilikinya. Bedanya, MK berwenang menguji produk hukum UU, sementara itu MA diberi kewenangan untuk menguji peraturan di bawah UU. Berdasarkan konfigurasi hukum yang demikian ini, seharusnya sejak diamandemennya UUD 1945 yang ketiga pada tahun 2003, sudah tidak ada lagi yurisprudensi yang menabrak UU. Selanjutnya jika merujuk kepada esensi mekanisme sistem checks and balance, maka eksistensi yurisprudensi tetap yang digunakan untuk mengontrol produk hukum cabang kekuasaan selain yudikatif, sangatlah tidak fair. Oleh karena substansi mekanisme checks and balance adalah tersedianya akses untuk saling mengontrol di antara cabang-cabang kekuasaan yang ada. Jika legislatif menelurkan produk undang-undang, maka kekuasaan yudikatif lah yang akan mengontrolnya melalui judicial review di MK. Begitu juga halnya dengan eksekutif yang dalam keadaan emergency dilegalkan menerbitkan UU darurat atau Perpu, maka yang mengontrol Perpu tersebut adalah legislatif. Namun tidak demikian halnya dengan yurisprudensi tetap yang esensinya merupakan produk hukum yang berkarakter regeling dan bersifat mengikat, maka terhadap produk hukum yudikatif ini tidak ada peluang sedikitpun bagi cabang kekuasaan lain untuk mengontrolnya. Lebih-lebih lagi jika yurisprudensi yang dihasilkan oleh MA ini jelas-jelas melabrak UU, maka tak pelak lembaga yudikatif menjadi lembaga super body di antara eksekutif dan legislatif. Hal demikian ini jelas telah mencederai sistim hukum dan ketatanegaraan yang dibangun dengan susah payah lewat amandemen konstitusi. Bahkan lebih jauh, keberadaan yurisprudensi yang berseberangan dengan UU haruslah dengan sendirinya batal demi hukum (null and avoid) beriringan dengan lahirnya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dengan tegas tidak mengenal nomenklatur yurisprudensi di dalam konfigurasi hirarki perundang-undangan. Materi muatan undang-undang aquo semakin meneguhkan konstatasi bahwa kedudukan yurisprudensi hanyalah sebatas asesori hukum yang bersifat komplementer dan bukannya elementer. Melalui Undang-undang aquo yurisprudensi dikembalikan kepada habitatnya yang orisinal yakni sebagai sumber hukum manakala undang-undang tidak atau belum mengaturnya (rechtsvacuum), dan bukannya sebagai penganulir undang-undang. Kado Ketua MA Baru Seiring dengan terpilihnya ketua MA yang baru, maka menjadi menarik untuk menunggu dan melihat reaksi dan sikap ketua MA terhadap kasasi yang diajukan oleh JPU terhadap putusan bebas Muhdi Pr. Ditengah hiruk pikuk tekanan publik dan mass media yang mengharapkan terkuaknya labirin pembunuhan Munir melalui instrumen peradilan. Beranikah ketua MA tidak menerima kasasi yang diajukan JPU tersebut (niet onvantkelijke verklaard) dengan dalih bahwa KUHAP jelas-jelas mengatur pengecualian kasasi terhadap putusan bebas, dan sekaligus mengatakan bahwa yurisprudensi tetap No. 275/K/Pid/1983 yang selama ini dijadikan acuan, adalah bertentangan dengan konstitusi. Jika sikap demikian yang ditempuh dan diikuti tindakan menganulir yurisprudensi tetap aquo, maka posisi MA jelas lebih fair, proper and wisdom. Akan tetapi jika memutuskan yang sebaliknya, yakni menerima pengajuan kasasi tersebut. Maka sejumlah implikasi hukum telah menghadang MA, yakni: Pertama MA jelas telah bertindak inskonstitusional, yakni telah melakukan perbuatan hukum yang melampaui kewenangan dan atau bertindak sewenang-wenang (detournement de povoir atau willekeur). Konsekuensinya, produk hukum MA berupa yurisprudensi yang melanggar UU harus dapat diajukan review lewat MA, bahkan lewat peradilan TUN. Ketiadaan regulasi yang mengatur hal yang demikian ini bukan berarti tidak boleh, pasalnya UU pokok Kehakiman menegaskan, hakim dilarang menolak perkara dengan dalih belum ada peraturannya. Sementara itu di lain sisi, pengajuan judicial review terhadap yurisprudensi melalui MA. Sulit membayangkan terjadinya peradilan yang fair dan impartial ketika MA harus menguji produk hukum yang dibuatnya sendiri. Jika yang demikian ini terjadi, maka sungguh ironi MA sebagai pemuncak kekuasaan kehakiman justru menciptakan anomali hukumnya sendiri; Kedua, Anomali hukum yang terjadi akan semakin memperburuk citra dan kinerja MA itu sendiri yang selama ini terkesan konservatif dan arogan, simak saja resistensi masyarakat terhadap perpanjangan usia hakim agung dan juga kukuhnya sikap MA yan tidak mau diaudit oleh BPK; Ketiga, secara langsung maupun tidak langsung MA ikut memberi kontribusi terhadap rusaknya sistim peradilan pidana dan juga sistim ketatanegaraan yang mengedepankan mekanisme cheks and balance. Selain itu perlu diingat, bahwa salah satu faktor penyebab buruknya kinerja peradilan di Indonesia adalah ketidak pastian hukum (uncertainty) yakni hukum tidak dapat diprediksi larinya mau kemana, ganti kepala ganti interpretasi. Oleh karena itu jangan persalahkan maraknya mafia peradilan dan ketidak patuhan hukum di kalangan aparat hukum terhadap sistim peradilan di Indonesia yang sulit ditebak, tidak akuntabel serta tidak transpran itu. Jangan pula dipersalahkan jika banyak orang menyebut KUHP sebagai akronim dari “kasih uang habis perkara, kurang uang hukuman penjara”. Ilustrasi yang buram itu tentu saja tidak kita harapkan terjadi pada awal terpilihnya ketua MA yang baru. Justru inilah momen penting yang harus dilakukan oleh MA untuk menunjukkan independensi dan imparsialitas melalui aktivitas pembenahan dan pemberdayaan institusi peradilan yang paling puncak. Keberanian bersikap tegas untuk mengatakan tidak atau menolak terhadap perkara-perkara hukum yang sejatinya sudah jelas regulasinya dan tidak perlu interpretasi lagi melalui instrumen yurisprudensi tetap, tidak saja sesuai dengan kedudukan yurisprudensi itu sendiri, tetap juga segendang dan sepenarian dengan ruh reformasi hukum dan sistim ketatanegaraan di cabang-cabang kekuasaan lainnya itu. Sejalan itu pula, MA juga perlu melakukan langkah elegan dan taktis untuk menginventarisir dan sekaligus me review produk hukumnya sendiri berupa yurisprudensi tetap, agar sejalan dengan produk hukum lain dan tidak menimbulkan anomali hukum dan sistim peradilan. Langkah semacam ini pernah pula dilakukan oleh MPR yang mereview produk hukumnya berupa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR. Begitu pula halnya dengan pihak JPU yang sudah terlanjur mengajukan kasasi ke MA terhadap putusan bebas Muhdi Pr, adalah suatu tindakan terpuji dan terhormat apabila pengajuan kasasi tersebut dibarengi pula dengan pengajuan judicial review ke MK terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP yang tidak mengenal katagori putusan bebas murni (vrijspraak) ataupun putusan bebas tidak murni (verkopte vrijspraak). Jika hal demikian ini dilakukan, sungguh elok dan cantik nian sistim hukum kita yang dibangun dengan semangat kesatria dan profesionalisme. Suatu hari kelak, anak cucu kita akan menjawab pertanyaan: “kalau sudah besar kamu ingin jadi apa?, tukasnya tegas “mau jadi professional hukum! Allahu bissawab. Malang, 17 Januari 2009
emang bingung mengenai penerapan hukum di Indonesia,kurangnya harmonisasi produk hukum yang satu dengan yang lainnya membuat para penerap hukum semakin bingung menerapkan hukum,suatu keadilan dalam hukum tidaklah lepas dari adanya suatu kepastian hukum, bagaimana menegakkan keadilan bila produk-produk hukum yang mendukung suatu kepastian hukum tidak harmonis? selalu para penerap hukum yang dipersalahkan dengan situasi tersebut.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteyurisprudensi sebagai sumber hukum manakala undang-undang tidak atau belum mengaturnya... terhadap permohonan jaksa untuk melakukan kasasi terdahap putusan bebas, bahwa pasal 255 KUHAP menjelaskan perkara apa saja yg dapat diperiksa di tingkat kasasi...
ReplyDeletemenurut saya tindakan jaksa tersebut sah-sah saja sepanjang dapat membuktikan alasan untuk mengajukan kasasi sesuai pasal 255 KUHAP...
Karena sempitnya WEWENANG, maka UU hanya memberikan YANG DIBOLEHKAN
ReplyDeleteKarena luasnya HAK, maka UU hanya melarang YANG DILARANG
Jika dalam sebuah negara, semua UU dicabut, maka aparatur negara tidak boleh melakukan tindakan karena TIDAK ADANYA WEWENANG, sedangkan warga negara dapat melakukan semua hal karena TIDAK ADANYA LARANGAN.
Wewenang - Hanya BOLEH melakukan yang DIBOLEHKAN oleh UU
Hak - Hanya TIDAK BOLEH melakukan yang TIDAK DIBOLEHKAN oleh UU
Aparat hanya mempunyai WEWENANG dan bukan mempunyai HAK
Oleh karena itu Aparat TIDAK BOLEH melakukan diluar yang DIBOLEHKAN.
Apakah Jaksa dapat melakukan Peninjauan Kembali?
Tidakboleh karena jaksa tidak mempunyai wewenang untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas, sesuai KUHAp-263. Jadi jaksa tidak boleh berdalih TIDAK ADA LARANGAN. Pelanggaran terhadap wewenang ini dapat dikenai KUHP-421 tentang penyalah gunaan kekuasaan.
LSM PeKiK di Face Book
Salam Justitia, ingin mempertanyakan terkait permasalahan yang disajikan penulis diatas tentang Anomali Yurisprudensi yang mengesampingkan aturan hukum setingkat UU terkait putusan bebas yg dapat diajukan kasasi. apabila sudah terjadi sebuah kerancuan hukum yang disebabkan oleh yurisprudensi tetap sebagaimana yang dimaksudkan penulis, maka langkah hukum yang tepat untuk melakukan judicial review terhadap yurisprudensi tersebut apakah dilakukan melaui lembaga peradilan MA ataukah MK? mohon jawaban dilengkapi dengan argumentasi hukum dan dasar hukum. trims..
ReplyDelete