NAVIGATOR:    | HOME   | INFORMASI HUKUM |   | NEGARA |   | PERUNDANGAN |   | KAMUS HUKUM


Friday, May 25, 2007

kesimpulan

BKBH-UMM

No. Perkara : 004/PUU-V/2007

Perihal : Kesimpulan Pengujian UU Nomor 29

Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran

Terhadap UUD RI 1945

Lamp iran : 1 (satu) berkas

Kepada Yth:

Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Di_

Jakarta

Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

1. Nama : dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An; SH

Profesi : Dokter

Alamat : Jalan Panglima Sudirman E-14 RT/RW 08/09

Kelurahan Kesatrian Kecamatan Blimbing,

Malang Jawa Timur.

Selanjutnya disebut ....................................................... Pemohon I

2. Nama : dr. Pranawa SP.PD

Profesi : Dokter

Alamat : Rungkut Harapan Blok G/47 Kalirungkut

Surabaya-Jawa Timur

Selanjutnya disebut ....................................................... Pemohon II

3. Nama : Prof. Dr. R.M. Padmo Santjojo, Sp B Profesi : Dokter Alamat : Jl. Cimahi No. 14 Atas, Menteng- Jakarta Pusat Selanjutnya disebut ....................................................... Pemohon III 4. Nama : dr. Bambang Tutuko Profesi : Dokter Alamat : Jatipadang – Pasar Minggu, Jakarta Selatan Selanjutnya disebut ....................................................... Pemohon IV 5. Nama : dr.Chamim Profesi : Dokter Alamat : Jl. Bangka IX/60 Mampang Pela, Mampang Prapatan Jakarta Selatan Selanjutnya disebut ....................................................... Pemohon V 6. Nama : dr. Rama Tjandra SPOG Profesi : Dokter Alama : Jl. Gatot Subroto Komp. Timah / 7 Menteng Tebet Jakarta Selatan Selanjutnya disebut ....................................................... Pemohon VI 7. Nama : H. Chanada Achsani, SH Profesi : Purnawirawan TNI-AD/Hakim Mahkamah Militer Alamat : Jl. Panglima Sudirman H-12 Malang, Jawa Timur Selanjutnya disebut ....................................................... Pemohon VII Bahwa para Pemohon dalam hal ini memberi kuasa kepada: Sumali, SH., MH; Sumardhan, SH; Ekkum, SH; Aries B. Cahyono, SH, Advokat dan Staf pada kantor hukum EDAN LAW, yang dengan ini memilih domisili hukum di Jalan Raya Tlogomas No. 246 Malang, Phone: (0341) 464318 ps. 193; HP. 081334551457 Malang berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 17 Januari 2007. Bahwa setelah dilakukannya pemeriksaan dan pembuktian, serta setelah mendengar keterangan pihak terkait dan keterangan dari pihak Pemerintah RI in casu Menteri Kesehatan RI pada persidangan perkara permohonan pengujian UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran terhadap UUD 1945 oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Maka bersama ini perkenankanlah Kami Kuasa Hukum Pemohon untuk menyampaikan kesimpulan atas pengujian UU aquo, yakni sebagai berikut: A. DASAR HUKUM PERMOHONAN 1. Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi :”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”; 2. Pasal 28 C ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang berbunyi : (1) ”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”; (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”; 3. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; 4. Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi :”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”; 5. Pasal 28 H ayat (1), (2) UUD 1945 yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”; (2). Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”; 6. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. B. KONSTITUSIONALITAS LEGAL STANDING PEMOHON 1. Bahwa Pemohon I s/d VI adalah perorangan warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai dokter spesialis, yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini; 2. Bahwa Pemohon VII adalah perorangan warga Negara Indonesia, pasien penderita hipertensi, yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini; 3. Bahwa hak konstitusional para Pemohon sebagaimana tercantum di dalam Pasal 28 C ayat (1) dan (2); Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1), Pasal 28 H ayat (1), ayat (2) UUD 1945 sungguh-sungguh telah dirugikan dengan berlakunya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, khususnya berkenaan dengan ketentuan yang termuat di dalam Pasal 37 ayat (2); Pasal 75 ayat (1); Pasal 76; Pasal 79 huruf a; dan Pasal 79 huruf c. 4. Bahwa Pemohon I s/d VI sebagai warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai dokter, secara konstitusional telah dirugikan hak konstitusionalnya oleh Pas al 37 ayat (2); Pasal 75 ayat (1); Pasal 76; Pasal 79 huruf a; dan Pasal 79 huruf c UU aquo secara. Pasal-pasal aquo menurut Pemohon sungguh-sungguh cacat hukum dan bertentangan secara diametral dengan sumpah dokter. Tegasnya UU aquo secara obyektif empiris telah memasung hak-hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum serta terbebas dari rasa cemas dan ketakutan untuk menjalankan profesinya di bidang praktik kedokteran. 5. Bahwa bentuk kerugian konstitusional yang secara obyektif empiris dialami Pemohon I s/d VI adalah tereduksinya atau terbatasnya ruang gerak profesi Pemohon untuk melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat akibat dibatasinya tempat praktik kedokteran maksimal 3 (tiga) tempat tersebut, sebagaimana diatur oleh Pasal 37 ayat (2) dan Pasal 76 UU aquo. Bagi Pemohon pembatasan tempat praktik kedokteran tersebut pada satu sisi menimbulkan beban moral sekaligus dilema profesi akibat bertentangan dengan sumpah dokter (sumpah hipokrates) yang telah dikrarkan dan wajib dipegang teguh oleh Pemohon, yakni nobeles oblige (responsibility of profession) profesi dokter, yang antara lain berbunyi: “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat”. Tegasnya dengan adanya pembatasan tempat praktik --Pasal 37 ayat (2)-- yang disertai sanksi berupa ancaman pidana tiga tahun penjara atau denda maksimal seratus juta rupiah (Pasal 76), Pemohon tidak mungkin lagi melayani pasien di luar tiga tempat praktik yang diizinkan oleh Dinas Kesehatan setempat, kendati pasien sangat berharap untuk mendapatkan layanan medis dari Pemohon. Akhirnya Pemohon dengan terpaksa harus menolak pasien dengan alasan tidak memiliki izin praktik di rumah sakit yang dipilih atau dikehendaki pasien. Sementara itu di sisi lain, ketentuan pembatasan tempat praktek tersebut menjadikan akses masyarakat untuk memperoleh dan memilih layanan kesehatan yang memadai dan berkualitas bagi dirinya secara otonom dan seluas-luasnya menjadi tidak mungkin lagi diaktualisasikan secara wajar. Hal yang demikian ini, sekali lagi menimbulkan beban moral dan sekaligus dilema profesi bagi Pemohon, oleh karena bertentangan dengan sumpah yang pernah diikrarkannya yakni berkhidmat untuk kepentingan kemanusiaan; 5. Bahwa kerugian konstitusional lainnya yang dialami Pemohon I s/d VI adalah munculnya perasaan cemas dan ketidak tenangan di dalam menjalankan profesinya terutama sejak diberlakukannya UU aquo. Tegasnya sanksi yang tercantum di dalam Pasal 75 ayat (1); Pasal 76; Pasal 79 huruf a; dan Pasal 79 huruf c UU aquo secara demonstratif dan masif telah menebar teror berupa ancaman pidana penjara atau denda yang jumlahnya cukup fantastis untuk ukuran profesi dokter. Padahal perbuatan yang dianggap kejahatan oleh pasal-pasal aquo, menurut Pemohon bukanlah perbuatan pidana, melainkan pelanggaran administratif belaka. Dengan adanya ketentuan yang tidak wajar atau lebih tepat disebut ”naif” tersebut, tak pelak Pemohon merasa tidak nyaman, tidak aman dan timbul rasa takut untuk menjalankan profesinya; 6. Bahwa selanjutnya Pemohon VII secara obyektif mengalami kerugian materi atau finansial, yaitu Pemohon harus menanggung biaya layanan kesehatan yang relatif lebih mahal ketimbang sebelum diberlakukannya UU a quo. Di samping itu Pemohon telah dirugikan haknya untuk memperoleh layanan kesehatan secara otonom berdasarkan pilihan dan kebutuhannya. Jelasnya akibat diberlakukannya Pasal 37 ayat (2) UU a quo, yakni tentang pembatasan tempat praktek maksimal tiga tempat. Pemohon yang notabene adalah pasien rutin dari seorang dokter Ahli Penyakit Dalam yang mempunyai Surat Izin Praktik di Rumah Sakit Saiful Anwar. Pada saat Pemohon mengalami krisis hipertensi, Pemohon menginginkan dirawat di Rumah Sakit Angkatan Darat dr. Soepraoen dengan fasilitas Pavilyun Anggrek sesuai jatah Perum Husada Bhakti yang menjadi haknya. Namun Dokter keberatan, karena tidak memiliki Surat Izin Praktik di Rumah Sakit dr. Soepraoen dan menyarankan untuk memilih Rumah Sakit Saiful Anwar atau Rumah Sakit Lavalet. Karena pasien menganggap bahwa kartu Askesnya juga berlaku di Rumah Sakit Saiful Anwar. Akhirnya dengan terpaksa Pemohon memilih dirawat di Rumah Sakit Saiful Anwar. Ternyata kelas yang sesuai dengan fasilitas Askes yang dimilikinya penuh, sehingga Pemohon memilih Paviliun Mawar dengan konsekuensi harus menambah biaya Rp. 1.300.000,- (satu juta tiga ratus ribu rupiah) untuk perawatan selama 2 hari tersebut yang jumlah ini hampir sama dengan gaji pensiun Pemohon untuk satu bulan; 7. Bahwa berdasarkan uraian di atas, kedudukan hukum dan kepentingan hukum atau legal standing Pemohon I s/d VII di dalam permohonan uji materiil 37 ayat (2); Pasal 75 ayat (1); Pasal 76; Pasal 79 huruf a; dan Pasal 79 huruf c UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran terhadap UUD 1945 adalah sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 jo Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005; C. KONSTITUSIONALITAS PASAL 37 AYAT (2) UU No. 29 TAHUN 2004 1. Bahwa di dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebutkan sebagai berikut :”Surat Izin Praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.” ; 2. Bahwa sementara itu di dalam Penjelasan Pasal 37 ayat (2) UU aquo disebutkan: “Dokter atau dokter gigi yang diminta untuk memberikan pelayanan medis oleh suatu sarana pelayanan kesehatan, bakti sosial, penanganan korban bencana, atau tugas kenegaraan yang bersifat insidentil tidak memerlukan surat izin praktik, tetapi harus memberitahukan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota tempat kegiatan dilakukan”; 3. Bahwa menurut Pemohon ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU aquo secara yuridis tidak dapat dipertangung jawabkan validitas konstitusionalitasna. Hal ini dapat dicermati dalam UU aquo bahwa baik di dalam konsiderans maupun di bagian penjelasan, bahkan di sekujur tubuh UU aquo tidak dijumpai keterangan tentang legal rationing atau ratio legis pembatasan tiga tempat praktek tersebut. Sementara itu fakta yang terungkap di persidangan (pemeriksaan ke III pada tanggal 11 April 2007), pihak pemerintah menegaskan bahwa tidak ada dasar pemikiran atau referensi yang pasti tentang munculnya pembatasan tempat praktik kedokteran tersebut. Yang terjadi adalah pada saat pembahasan rumusan materi Pasal 37 ayat (2) di lembaga legislatif, ide pembatasan tempat praktik itu lebih didasarkan pada “konsensus” semata. 4. Bahwa dengan terungkapnya fakta hukum yang demikian ini, maka dapatlah disimpulkan bahwa secara formil pembentukan Pasal aquo jelas-jelas tidak memenuhi syarat formil pembentukan suatu undang-undang yang baik, sebagaimana didaulat (conditio sine quanon) oleh Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan: “Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; (c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (d) dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan; dan (g) keterbukaan. 5. Bahwa perumusan ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU aquo ini ternyata tidak di dasarkan pada realitas obyektif kondisi geografis dan demografis negara republik Indonesia yang sangat beragam tingkat ketersediaan jumlah sumber daya manusia maupun sebaran jumlah penduduknya. Bahwa realitasnya ketersediaan tenaga dokter di Indonesia hingga saat ini masih belum memadai dan jauh dari jumlah ideal. Menurut Dr.dr.Fahmi Idris M.Kes, (Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia / PB IDI), Idealnya ratio dokter dan pasien adalah 1 dokter melayani 2.500 pasien. Saat ini di Indonesia rasionya diperkirakan satu dokter melayani 4000 pasien (Jawa Pos, 3 Maret 2007 ). Apalagi menurut Ketua Majelis Pendidikan IDI Biran Affandi, dari 4500-5000 dokter umum yang dihasilkan oleh institusi pendidikan kedokteran di Indonesia setiap tahunnya, hanya separuh yang benar-benar bekerja sebagai dokter (Jawa Pos, 3 Maret 2007 ). Berpijak dari disparitas ratio dokter dengan jumlah pasien yang demikian ini, maka adalah tidak tepat sama sekali jika kemudian praktek kedokteran oleh profesi dokter justru dibatasi hanya pada tiga tempat saja. Kondisi yang demikian ini ibarat kalau bagian dengkul yang gatal akan tetapi malah kening yang digaruk. 6. Bahwa di dalam persidangan juga terungkap, bahwa menurut keterangan Ahli yang diajukan Pemohon, yakni J. Guwandi, SH menegaskan bahwa model pembatasan tempat praktik kedokteran sebagaimana di Indonesia, pada umumnya tidak dikenal di negara mana pun. Oleh karena itu menurut Pemohon (I s/d VI) yang menekuni profesi kedokteran, ketentuan aquo jelas-jelas telah mencederai nilai-nilai profesionalisme dokter. Adalah tidaklah terlalu berlebihan jika profesi dokter menyandang predikat honorable profession (officum nobile) seperti halnya profesi advokat dan guru. Untuk membuktikan bahwa profesi dokter sesungguhnya mengemban misi kebajikan dan kemaslahatan bagi kemanusiaan. Dalam kesempatan ini ada baiknya kita simak bunyi Lafal Sumpah Dokter, yakni :”Demi Allah saya bersumpah/ berjanji, bahwa : i. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; ii. saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran; iii. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter; iv. Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat; v. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter; vi. Saya akan tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekali-pun diancam; vii. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita; viii. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian, atau kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita; ix. Saya akan menghormati setiap hidup insani melai dari saat pembuahan; x. Saya akan memberikan kepada guru-guru dan bekas guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya; xi. Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan; xii. Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia; xiii. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya Dari Lafal Sumpah yang diikrarkan dokter saat akan menjalankan profesi tersebut, jelaslah bahwa profesi dokter memang dipersiapkan melalui pendidikan yang legal, berkesinambungan dan berjenjang dengan perilaku yang siap mengabdi bagi kepentingan perikemanusiaan dan senantiasa mengutamakan kepentingan penderita yang harus ditolongnya, tanpa terkait dengan ada atau tidaknya Surat Tanda Registrasi maupun Surat Izin Praktik. Apalagi kemudian dibatasi tempat praktiknya maksimal tiga tempat 7. Bahwa dampak dari pembatasan tempat praktek maksimal hanya untuk tiga tempat praktek tersebut, sungguh-sungguh telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon (I s/d VI) yang dijamin Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: ”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Artinya pengetahuan dan keilmuan yang diperoleh Pemohon sebagai dokter, di dalamnya terdapat dimensi kewajiban profesi untuk mengamalkan sumpah dokter yang pernah diikrarkannya. Namun dengan adanya Pasal 37 ayat (2) UU aquo, kewajiban profesi dokter tersebut yang sekaligus hak konstitusional para Pemohon menjadi terhalang untuk mengaktualisasikannya, yaitu Pemohon tidak leluasa lagi di dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat luas oleh karena terbatasnya tempat praktek, walaupun secara obyektif empiris jelas-jelas terdapat pasien yang sangat membutuhkan pertolongan Pemohon. 8. Bahwa secara lebih jauh pasal aquo setidaknya telah menimbulkan dilema profesi bagi Pemohon, yakni serving patient (client) or obey the law. Melayani pasien di luar tiga tempat yang diperbolehkan UU aquo adalah melanggar hukum, akan tetapi yang demikan justru merupakan tuntutan profesi. Kondisi dilematis yang diakibatkan oleh berlakunya ketentuan aquo, maka tak pelak hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : ” Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya” secara obyektif empiris menjadi terhambat untuk diaktualisasikan; 9. Bahwa ekses pembatasan tiga tempat praktik kedokteran yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya oleh pembentuk UU aquo antra lain: Pertama ketika para dokter hanya diperbolehkan praktek di tiga tempat, maka mereka diyakini akan memilih tempat-tempat praktek atau rumah sakit yang sudah ”established” dalam arti sarana dan prasarana, dan ujung-ujungnya sesuai dengan logika ekonomi ”good serving, good payment”. Jika hal ini benar, maka pasien miskin harus bersiap-siap menerima layanan kesehatan kelas dua atau bahkan kelas tiga, atau dengan kata lain proses diskriminasi di bidang kesehatan pasti akan terjadi; Kedua, bahwa ketentuan aquo bukan tidak mungkin akan menjadi faktor pendorong terjadinya liberalisasi bidang kesehatan utamanya masuknya dokter-dokter asing ke rumah sakit-rumah sakit di Indonesia, akibat langkanya jumlah dokter terutama dokter spesialis. Implikasi yang demikian ini justru terungkap di dalam persidangan yang ke IV (Kami, 3 Mei 2007), yang mana ahli dari Pemerintah, yaitu Prof. dr. Samsu Hidayat, Sp B menegaskan bahwa way out dari kelangkaan dokter di Indonesia adalah dengan mempersilahkan dokter asing masuk ke Indonesia sebagaimana dimungkinkan oleh Pasal 30 ayat (1, 2, 3) UU aquo. Terhadap usulan yang demikian ini, Pemohon menganggapnya kurang tepat, oleh karena di samping tidak menjawab dan memberi solusi persoalan pembatasan tiga tempat praktek, tetapi juga persoalannya justru dialihkan menjadi isu lain. Lebih jauh Pemohon kurang sependapat dengan usulan Ahli dari Pemerintah itu, oleh karena hal demikian justru akan menciptakan ketergantungan akan tenaga asing di bidang kedokteran. Mengapa bukannya membereskan dan memperbaiki sistim pendidikan kedokteran Indonesia sehingga mendorong tersedianya jumlah dokter yang banyak dan memadai. 10. Bahwa sementara itu, ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU aquo seolah-olah menutup mata terhadap realitas sosial-kultural masyarakat Indonesia, yang di dalam memilih tempat layanan pengobatan atau rumah sakit cenderung mempertimbangkan dan mengedepankan aspek simbolik, --misalnya simbol agama-- di samping aspek profesionalisme, bahkan mungkin untuk banyak hal aspek simbolik ini boleh jadi faktor penting non medis yang mendorong sugesti pasien untuk cepat recovery selain faktor obat maupun peran dokter tentunya. Berdasarkan hal demikian, maka sejatinya Pasal aquo secara langsung atau potensial untuk melanggar hak konstitusional pasien maupun Pemohon ke VII, sebagaimana ditubuhkan pada Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: ”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”; 11. Bahwa selanjutnya berdasarkan fakta adanya kelangkaan profesi dokter di Indonesia, maka pembatasan tempat praktek oleh Pasal 37 ayat (2) UU aquo jelas telah merugikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas atau pasien di Republik Indonesia untuk memperoleh akses layanan kesehatan yang diberikan oleh dokter maupun memilih rumah sakit yang sesuai dengan kemampuan dan kehendaknya yang otonom sebagaimana dijamin konstitusi Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”; 12. Bahwa secara konstitusional negara Republik Indonesia adalah penganut paradigma negara kesejahteraan (welfare state), yaitu negara secara proaktif dan imperatif ikut mengusahakan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, termasuk dalam hal ini adalah tersedianya dan kemudahan akses layanan kesehatan sebagaimana diabadikan di dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Berdasarkan paradigma welfare state tersebut, keberadaan Pasal 37 ayat (2) UU aquo yang secara empirik justru menghalangi dan mereduksi hak-hak masyarakat untuk memilih dan memperoleh seluas-luasnya pelayanan kesehatan yang memadai dan berkualitas bagi dirinya. Oleh karena itu tak pelak materi muatan Pasal 37 ayat (2) UU aquo dapat dikatagorikan sebagai materi yang kontradiktif dengan konstitusi alias inskonstitusional; 13.Berdasarkan keterangan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa Pasal 37 ayat (2) UU aquo baik secara formil maupun secara materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas konstitusionalnya. Secara formil perumusan Pasal aquo bertentangan dengan Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan secara materiil pasal aquo bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya ketentuan Pasal 37 ayat (2) UU aquo secara jelas telah melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 C ayat (1) (2); dan Pasal 28 H ayat (1) (2) UUD 1945; D. KONSTITUSIONALITAS PASAL 75 AYAT (1); PASAL 76; PASAL 79 HURUF (a), PASAL 79 HURUF (c) UU No. 29 TAHUN 2004 I. KONSTITUSIONALITAS PASAL 75 AYAT (1) 1. Bahwa materi ketentuan Pasal 75 ayat (1); Pasal 76; Pasal 79 huruf a dan Pasal 79 huruf c UU aquo, pada intinya berisi tentang kriminalisasi – bahkan cenderung over criminalized-- atas tindakan dokter yang berpraktik kedokteran namun tidak dilengkapi surat tanda registrasi (STR); dan surat izin praktik (SIP); dan tidak memasang papan nama; serta tidak menambah dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, yang dibarengi dengan ancaman pidana cukup berat dan juga denda yang kelewat mahal akibat melanggar pasal-pasal aquo; 2. Bahwa di dalam persidangan, ternyata tidak terungkap secara valid dan obyektif, mengapa dan atas dasar apa (ratio legis) perbuatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal aquo, atau lebih tepatnya pelanggaran administratif tersebut harus diancam dengan pidana badan dan pidana denda. Bahkan justru yang terungkap di dalam persidangan adalah keinginan semua pihak, --termasuk Menteri Kesehatan yang secara jujur mengatakan kepada kuasa hukum Pemohon di sela-sela persidangan tentang persetujuannya— untuk menghapus ketentuan pidana tersebut. Sebagaimana dinyatakan Prof dr. Samsuhidayat, Sp B, Ahli yang diajukan Pemerintah, bahwa UU aquo pada dasarnya adalah UU Profesi, oleh karena itu seharusnya cukuplah mencantumkan sanksi profesi saja. Sementara itu menurut dr. Shofwan Dahlan, Ahli dari Pemohon, yang membandingkan dengan kebijakan kriminal di negara-negara common law, menyatakan bahwa di negara-negara tersebut ”professional negligence” atau pelanggaran etika profesi masuk wilayah tort, sehingga oleh karena itu tidak dipidana melainkan cukup membayar ganti rugi. Selanjutnya Dr.dr Fahmi Idris, M Kes, ketua PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang berbicara sebagai pihak terkait dalam perkara pengujian UU aquo, dengan tegas dan lugas menyatakan bahwa ancaman pidana terhadap pelanggaran administratif sebagaimana diatur di dalam pasal-pasal aquo dianggap tidak adil dan diskriminatif, maka oleh karena itu ancaman pidana yang tercantum pada pasal-pasal aquo harus dihapuskan. Berdasarkan fakta hukum yang demikian ini, maka tak pelak konstitusionalitas pasal-pasal aquo patut dipertanyakan dan diragukan validitasnya; 3. Bahwa untuk membuktikan apakah pasal-pasal aquo inkonstitusional, berikut ini penjelasannya. Bahwa Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran berbunyi: “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).”; 4. Bahwa Pemohon secara tegas menolak kriminalisasi praktek kedokteran yang tidak mengantungi surat tanda registrasi (STR) dengan dua alasan, yaitu: Pertama, Bertentangan dengan tanggung jawab profesi kedokteran; dan Kedua, perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Bahwa sebagaimana dikemukakan terdahulu, setiap dokter terikat dengan sumpah yang pernah diikrarkannya sebelum menjalankan profesi kedokteran serta wajib mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari bahkan bila perlu dengan mempertaruhkan kehormatan dirinya sekalipun. Dalam konteks yang lebih radikal, dokter tetap harus mengkhidmatkan pengetahuannya demi kepentingan kemanusian secara terhormat dan bersusila dan pantang menggunakan profesinya untuk sesuatu yang bertentangan dengan kemanusiaan, sekalipun diancam. Sembari itu pula dokter bersikokoh untuk menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Berangkat dari perspektif ini, maka adalah sangat absurd jika dokter di dalam melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk melayani kesehatan masyarakat melalui praktik kedokteran, ternyata harus direduksi otonomi profesinya oleh hal-hal yang sifatnya teknis administratif – antara lain harus memiliki STR-- apatah lagi kemudian ditakut-takuti dengan ancaman pidana segala. 5. Bahwa konklusi yang demikian ini diperoleh ketika merujuk pada pengertian tentang STR yang menurut Pasal 1 ayat (8) UU aquo, adalah: ”bukti tertulis yang diberikan Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi” Selanjutnya untuk memperoleh STR, Pasal 29 ayat (3) UU aquo mensyaratkan: ”a. Memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis; b. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpa/janji dokter atau dokter gigi; c. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; d. Memiliki sertifikat kompetensi; dan e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi”. Berdasarkan rumusan STR serta syarat-syarat untuk memperolehnya itu, Pemohon berkesimpulan bahwa ketentuan tersebut sesungguhnya formalisasi belaka dari lafal sumpah dokter itu sendiri atau birokratisasi profesi. Kalau demikian ini benar adanya, maka di negeri ini telah terjadi upaya atau proses degradasi profesi atau deprofesi secara sistematis oleh negara melalui instrumen undang-undang. Apa artinya fenomena ini, tak lain dan tak bukan telah terjadi ketidak pecayaan terhadap profesi kedokteran baik oleh negara, bahkan asosiasi profesinya sendiri. Profesi dokter tidak lagi sebuah okupasi yang mencerminkan nilai-nilai profesionalisme, kebajikan, ketaatan memegang kode etik. Profesi kedokteran melalui UU aquo tidak lebih dan tidak ada bedanya dengan okupasi atau pekerjaan biasa lainnya. Bahwa untuk mendapatkan pengakuan sebagai profesi dokter yang legal dan oleh karenanya legitimate untuk melakukan praktik kedokteran, harus dibuktikan dengan adanya selembar surat berupa STR; 6. Bahwa fenomena formalisasi atau birokratisasi profesi ini, sesunguhnya mirip dengan gejala formalisasi atau birokratisasi ”manusia yang baik”. Maksudnya di republik ini untuk menjadi manusia baik tidak cukup hanya dengan berperilaku baik –sepertirajin beribadah, bersedekah, jujur, tidak korup, dll.-- di dalam kehidupan sehari-hari, tetapi masih diperlukan pengakuan dari aparatur negara, yakni berupa Surat Tanda Berkelakuan Baik. Apakah yang demikian ini sudah benar dan tepat, jawabnya jelas tidak benar alias salah kaprah, oleh karena profesi dokter bukanlah sebagaimana okupasi umumnya, yaitu: dokter telah melalui proses pendidikan profesi yang sudah terji kompetensiinya, yang dilanjutkan dengan ikrar sumpah hipokrates, wajib menjadi anggota organisasi profesi (IDI) yang memiliki mekanisme internal untuk meningkatkan kemampuan dan sekaligus mengontrol para anggotanya untuk mematuhi kode etik. Hal demikian sejalan dengan konsep profesi kedokteran yang dirumuskan di dalam Pasal 1 ayat (11) UU aquo, yang berbunyi: ”Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kose etik yang bersifat melayani masyarakat”. Berdasarkan rumusan ini, adanya pengakuan suatu profesi berupa bukti formal dari negara atau lembaga di luar asosiasi profesi dokter –KKI-- jelas bertentangan dengan atribut profesi dokter itu sendiri; 7. Selanjutnya Pemohon akan membuktikan bahwa praktik kedokteran yang tidak dilengkapi STR bukanlah perbuatan pidana. Pertama-tama perlu kita simak bersama apakah yang dimaksud dengan praktik kedokteran itu? Menurut Pasal 1 ayat (1) UU aquo: ”Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan” . Sementara itu menurut Pasal 1 ayat (10) UU aquo menjelaskan siapakah pasien itu, yaitu: ”setiap orang yang melakukan konsultasi kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”. Selanjutnya mengenai hal-hal apa saja yang dikatagorikan praktik kedokteran itu, jawabannya dapat kita temui di dalam Pasal 35 UU aquo antara lain: ”........a. mewancarai pasien; b. Memeriksa fisik dan mental pasien; c. Menentukan pemeriksaan penunjang; d. Menegakkan diagnosis; e. Menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien; f. Melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi; g. Menulis resep obat dan alat kesehatan; h. Menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi; i. Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan j. Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek”. Bahwa berdasarkan rumusan di atas, Pemohon menjadi prihatin alias nelangsa, masak gara-gara tidak memiliki STR, seorang dokter tidak boleh melayani pasien, hatta sekedar menjawab pertanyaan pasien yang ingin berkonsultasi masalah kesehatannya, ataupun tanya jawab dengan pasien. Ini sungguh sebuah ironi, masak dokter yang sudah lulus pendidikan profesi kedokteran dan terikat dengan sumpahnya tetapi tidak atau belum ber-STR, ternyata oleh undang-undang aquo wajib menghindar manakala ada pasien yang berkonsultasi. Kalau hal demikian tidak diindahkan alias tidak taat hukum maka siap-siap saja jadi pesakitan dan bahkan menjadi penghuni hotel prodeo untuk waktu yang cukup lama. Sementara itu jika dibandingkan dengan tukang obat tradisional atau pengobat alternatif tidak ada larangan yang demikian ini. Inilah tragedi kelam yang tengah menimpa kaum profesi terhormat yakni dokter; 8. Bahwa berkenaan dengan ancaman pidana penjara maupun pidana denda yang ditujukan kepada setiap dokter/dokter gigi yang melakukan praktek kedokteran tanpa STR, ketentuan yang demikian ini sungguh tidak memiliki basis teori hukum pidana yang valid. Kesimpulan ini diperoleh dari teori hukum pidana, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan untuk dapat dipidana setidaknya harus memenuhi dua syarat yaitu: (i) kesalahan (shuld); dan (ii) melawan hukum (onrechtmatigedaad). Atau dalam bahasa Enschede: ”tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang termasuk dalam perumusan delik, melawan hukum dan kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya” (Lihat Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesa, Alumni, Bandung, 2002, h.23). Selanjutnya Hoffmann berpendapat, bahwa untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu: (i) Er moet een daad zijn verricht (harus ada yang melakukan perbuatan); (ii)Die daad moet onrechtmatige zijn (perbuatan itu harus melawan hukum); (iii) De daad moet aan een ander schade heb ben toegebracht (perbuatan itu harus menimbulkan kerugian kepada orang lain; dan (iv) De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya). (lihat Komariah Emong Sapardjaja, ibid, h. 34). Berpijak dari pendapat Hoffman tersebut, maka perbuatan dokter yang melakukan praktik kedokteran namun tidak dilengkapi STR jelas tidak dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana, oleh karena perbuatan aquo tidak memenuhi unsur melawan hukum yakni unsur De daad moet aan een ander schade heb ben toegebracht (perbuatan itu harus menimbulkan kerugian kepada orang lain); dan unsur De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya). Konsekuensi yuridis tidak terpenuhinya unsur pebuatan melawan hukum tersebut, maka ancaman pidana penjara maupun ancaman denda sudah barang tentu menjadi tidak tepat pula; 9. Bahwa di dalam persidangan juga tidak pernah terungkap tentang alasan maupun dasar pemikiran yang valid dan obyektif mengenai ratio legis tentang dicantumkanya ancaman pidana di dalam Pasal 75 ayat (1) UU aquo. Padahal sebagaimana diketahui bahwa aspek kejelasan tujuan, efektifitas, maupun tranparansi suatu peraturan merupakan syarat yang harus dipenuhi (conditio sine quanon) di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana didaulatkan oleh Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 10. Bahwa kehadiran Pasal 75 ayat (1) UU aquo dirasakan oleh Pemohon sebagai bentuk reduksi maupun penghilangan hak konstitusional Pemohon untuk memperoleh jaminan dan kepastian serta perlindungan hukum yang adil di dalam menjalankan profesinya sebagai dokter, sebagaimana diatur Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Di samping itu Pasal aquo jelas-jelas melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, oleh karena ketentuan Pasal 75 ayat (1) aquo telah menimbulkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman, serta hadirnya perasaan cemas dan ketakutan akibat dicantumkannya sanksi pidana kepada kaum profesi dokter/dokter gigi yang tidak ber-STR, yang sejatinya adalah merupakan pelanggaran administratif belaka. 11. Berdasarkan uraian di atas, maka tak pelak materi muatan Pasal 75 ayat (1) UU aquo jelas tidak memiliki konstitusionalitas yang valid dan obyektif, baik dari aspek formil maupun aspek materiil. II. KONSTITUSIONALITAS PASAL 76 1. Bahwa Pasal 76 UU aquo disebutkan sebagai berikut :”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah); 2. Bahwa sementara itu apa yang dimaksud dengan Surat Izin Praktik (SIP) dapat dijumpai dalam Pasal 1 ayat (8) UU aquo, yaitu: ” bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi persyaratan”; Adapun syarat memperoleh diatur di dalam Pasal 8 UU aquo, yakni: ”a. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku; b. Mempunyai tempat praktik; c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi”. 3. Bahwa menurut Pemohon, praktik kedokteran yang dilakukan oleh dokter tanpa memiliki SIP pada hakikatnya bukanlah perbuatan pidana atau kejahatan, dapat kita simpulkan dari penjelasan Pasal 37 ayat (2) yaitu: Dokter atau dokter gigi yang diminta untuk memberikan pelayanan medis oleh suatu sarana pelayanan kesehatan, bakti sosial, penanganan korban bencana, atau tugas kenegaraan yang bersifat insidentil tidak memerlukan surat izin praktik, tetapi harus memberitahukan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota tempat kegiatan dilakukan”; Dari bunyi redaksi penjelasan tersebut, bahwa persoalan legalitas praktik kedokteran terutama di dalam situasi kondisional adalah dengan memenuhi kewajiban administratif, yakni cukup memberitahu dinas kesehatan setempat. Bahwa dari sini dapat difahami, sesungguhnya tidak ada pesoalan serius terhadap praktik kedokteran yang tidak memiliki SIP. Artinya bahwa praktik kedokteran nir- SIP tidak identik dengan malapraktek, tidak pula identik dengan kejahatan terhadap tubuh atau subyek hukum, namun sekali lagi semata-mata persoalan adminstrasi-birokrasi pemerintah; 4. Bahwa sekali lagi di dalam persidangan Mahkamah Konstutisi juga tidak terungkap legal reasoning dicantumkannya ancaman pidana penjara dan pidana denda terhadap dokter yang berpraktik namun tidak memiliki SIP; 5. Bahwa untuk menguji konstitusionalitas Pasal 76 UU aquo, Pemohon tetap menggunakan dalil-dalil hukum sebagaimana dali-dalil hukum yang dipakai untuk menguji norma hukum ketentuan Pasal 75 ayat (1) di atas; 6. Bahwa Pemohon berkesimpulan kehadiran Pasal 76 UU aquo telah mereduksi hak konstitusional Pemohon di dalam memperoleh jaminan hukum dan kepastian hukum serta perlindungan hukum yang adil di dalam menjalankan profesinya sebagai dokter, sebagaimana diatur Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Di samping itu Pasal aquo jelas-jelas melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, oleh karena ketentuan Pasal 76 UU aquo telah menimbulkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman, serta hadirnya perasaan cemas dan ketakutan akibat dicantumkannya sanksi pidana kepada kaum profesi dokter/dokter gigi yang tidak ber-SIP, yang sejatinya adalah merupakan pelanggaran administratif belaka. 7. Berdasarkan hal demikian ini, maka dapatlah disimpulkan bahwa materi muatan Pasal 76 UU aquo jelas tidak memiliki konstitusionalitas yang valid dan obyektif, baik dari aspek formil maupun aspek materiil. Secara formil perumusan materi Pasal 76 bertentangan dengan Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sedangkan secara materiil bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945; III. KONSTITUSIONALITAS PASAL 79 HURUF (a) 1. Bahwa Pasal 79 huruf (a) UU aquo berbunyi :”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1).” ; 2. Bahwa di dalam persidangan berkenaan dengan ratio legis dicantumkannya ancaman pidana terhadap kesengajaan dokter yang berpraktik namun tidak memasang papan nama, adalah dalam rangka melindungi pasien di dalam memperoleh akses atas informasi yang benar dan jujur. Begitu penjelasan Dirjen Hukum dan HAM. Terhadap argumen yang demikian ini, Pemohon jelas tidak sependapat, oleh karena berkaitan dengan perlindungan pasien terhadap informasi yang tidak jujur (misfraudelent consent) sudah diatur di dalam UU Perlindugan Konsumen, yang ancaman pidana badan maupun pidana dendanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketentuan Pasal 79 huruf (a) UU aquo. Begitu pula dengan KUHPidana mengaturnya di dalam Pasal 378 tentang pebuatan curang (bedrog) atau lazim dikenal dengan tindak pidana penipuan, yang diancam dengan pidana maksimal empat tahun. Berdasarkan fakta yang demikian ini, Pemohon berpendapat bahwa argumen yang menyatakan Pasal 79 huruf (a) UU aquo adalah dimaksudkan untk melindungi pasien atau konsumen adalah tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas yuridisnya. Oleh karena UU Perlindungan Konsumen maupun KUHPidana tetap dapat digunakan untuk melindungi pasen atau konsumen di bidang kesehatan, walaupun ada UU Praktik kedokteran yang justru ancaman pidana nya jauh lebih rendah ketimbang dua peraturan perundangan ang disebut terdahulu. Lebih jauh Pasal 79 huruf (a) UU Praktik kedokteran yang sejatinya merupakan undang-undang tentang profesi ini, pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk menjadi ketentuan khusus dari UU Perlindungan Konsumen maupn KUHPidana, yang artinya tidak berlaku prinsip lex spesialis derogat lex generalis; 3. Bahwa di dalam persidangan terungkap, betapa implementasi Pasal 79 huruf (a) ini telah jatuh korban seorang dokter yang sekaligus saksi dari Pemohon, yakni dr. Novel Bisyir. Hanya gara-gara belum sempat memasang papan nama (naam board) –karena catnya masih basah—saksi harus berurusan dengan polisi yang menuduhnya telah melanggar Pasal 79 huruf (a) Padahal ketika kasusnya diperiksa di kepolisian, pelanggaran Pasal aquo tidak satu pun pasien yang merasa dirugikan, dan tidak pula ada pasien yang menjadi saksi pelapor. Kendati kasusnya tidak sampai dilanjutkan di pengadilan, namun peristiwa tersebut telah membuat trauma dan munculnya perasaan ketidak adilan. Perlakuan diskriminatif itu ialah --sebagaimana diutarakan saksi-- mengapa kalau dukun, tabib, pengobat tradisioal-alternatif tidak wajib memasang papan nama, namun untuk dokter yang sudah jelas profesinya masih juga diwajibkan, bahkan ditakut-takuti dengan ancaman pidana pula. 4. Bahwa selanjutnya untk menguji konstitusionalitas Pasal 79 huruf (a) Pemohon untuk kali kesekian tetap menggunakan dalil-dalil hukum sebagaimana digunakan untuk menguji Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 UU aquo; 5. Bahwa Pemohon berkesimpulan kehadiran Pasal 79 huruf (a) UU aquo telah mereduksi hak konstitusional Pemohon di dalam memperoleh jaminan hukum dan kepastian hukum serta perlindungan hukum yang adil di dalam menjalankan profesinya sebagai dokter, sebagaimana diatur Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Di samping itu Pasal aquo jelas-jelas melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, oleh karena ketentuan Pasal 79 huruf (a) UU aquo telah menimbulkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman, serta hadirnya perasaan cemas dan ketakutan akibat dicantumkannya sanksi pidana kepada kaum profesi dokter/dokter gigi yang tidak memasang papan nama, yang sejatinya adalah merupakan pelanggaran administratif belaka. 8. Berdasarkan hal demikian ini, maka dapatlah disimpulkan bahwa materi muatan Pasal 79 huruf (a) UU aquo jelas tidak memiliki konstitusionalitas yang valid dan obyektif, baik dari aspek formil maupun aspek materiil. Secara formil perumusan materi Pasal 79 huruf (a) bertentangan dengan Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sedangkan secara materiil bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945; IV. KONSTITUSIONALITAS PASAL 79 HURUF (c) 1. Bahwa Pasal 79 huruf (c) UU aquo berbunyi: ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah ): ..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e”; 2. Bahwa isi Pasal 51 huruf (e) menyebutkan: ”Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban: ...(e) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi”; 3. Bahwa logika hukum atau ratio legis dicantumkannya ketentuan pidana bagi dokter yang tidak menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi di dalam Pasal 79 huruf (c), tidak pernah terungkap pula di dalam persidangan. Dalam hal ini Pemohon berpendapat bahwa perumus Pasal aquo telah lupa atau mungkin karena ketidaktahuannnya bahwa dokter itu adalah sebuah profesi. Bahwa di dalam jabatan profesi dokter melekat di dalamnya kewajiban untuk senantiasa meningkatkan keahliannya dan pengetahuannya secara sukarela, tidak usah diancam dengan sanksi –bahkan sanksi moral pun-- dokter tetap dituntut untuk meningkatkan perfomance nya, karena yang demikian ini adalah tuntutan profesi. Namun pernahkah perumus Pasal 79 huruf (c) itu membayangkan dan memikirkan betapa susahnya para dokter yang bertugas di daerah terpencil atau daerah pedalaman yang sarana maupun prasarana untuk mengakses informasi secara mudah dan murah. Adil kah dokter yang bertugas di wilayah terpencil, di mana aliran listrik pun belum pernah menjamah daerah tersebut, apalagi koran, jurnal dsb. Lantas kemudian dipidana karena tidak mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. Lalu relevansi dan signifikansinya ancaman pidana itu untuk apa? Jawabannya perumus Pasal aquo sajalah yang tahu; 4. Bahwa selanjutnya untk menguji konstitusionalitas Pasal 79 huruf (c) Pemohon untuk kali kesekian tetap menggunakan dalil-dalil hukum sebagaimana digunakan untuk menguji Pasal 75 ayat (1) jo Pasal 76 jo Pasal 79 huruf (a) UU aquo; 5. Bahwa Pemohon berkesimpulan kehadiran Pasal 79 huruf (c) UU aquo telah mereduksi hak konstitusional Pemohon di dalam memperoleh jaminan hukum dan kepastian hukum serta perlindungan hukum yang adil di dalam menjalankan profesinya sebagai dokter, sebagaimana diatur Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Di samping itu Pasal aquo jelas-jelas melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, oleh karena ketentuan Pasal 79 huruf (c) UU aquo telah menimbulkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman, serta hadirnya perasaan cemas dan ketakutan akibat dicantumkannya sanksi pidana kepada kaum profesi dokter/dokter gigi yang tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu kedokteran; V. RELEVANSI SANKSI PIDANA YANG TERCANTUM DI DALAM PASAL 75 AYAT (1); PASAL 76; PASAL 79 HURUF (a), PASAL 79 HURUF (c) UU No. 29 TAHUN 2004 1. Bahwa sebagai penutup kesimpulan terhadapa konstitusionalitas Pasal 75 ayat (1); Pasal 76; Pasal 79 huruf a; dan Pasal 79 huruf c UU aquo, Pemohon sangat keberatan terhadap bentuk sanksi pidana yang tercantum dalam pasal-pasal aquo ini. Pasalnya perbuatan yang lebih tepat disebut pelanggaran administratif atau juga pelanggaran etika, maka tidak seharusnya diancam sanksi pidana, melainkan cukup sanksi administratif dan sanksi profesi saja. Mengenai penetapan bentuk sanksi ini, nampaknya UU aquo tidak cukup konsisten dan terkesan tidak fair, karena untuk perbuatan praktik kedokteran yang di duga ataupun yang jelas-jelas menimbulkan kerugian kepada pasien, hanya diberi sanksi administratif dan sanksi disiplin. Sebaliknya untuk pelanggaran administratif dan pelanggaran etika yang tidak ada unsur kerugian yang ditimbulkannya, justru malah diberi sanksi pidana yang cukup berat. Penilaian Pemohon yang demikian ini didasari atas pembacaan teks Pasal 66 dan Pasal 69 ayat (1);(2) dan (3) UU aquo. Adapun bunyi Pasal 66 UU aquo adalah: ”Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Sementara itu isi Pasal 69 ayat (1); (2) dan (3) berbunyi: Ayat (1) ”Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia”;Ayat (2) ”Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin”; Ayat (3) ” Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: a. Pemberian peringatan tertulis; rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau; c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi”. Berdasarkan ketentuan Pasal 69 aquo, Pemohon berkesimpulan bahwa undang-undang praktek kedokteran ini lebih mengutamakan hal-hal sepele yang tidak ada kaitan langsung dengan pemberdayaan profesi dokter dan kepentingan pasien. Sementara itu kepentingan dan perlindungan terhadap pasien yang menjadi ide dasar pembentukan UU aquo justru malah diabaikan. Artinya gagasan dan tujuan utama dilahirkannya UU aquo sebagaimana tercantum pada Pasal 3 yang berbunyi: ”Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk: a. Memberikan perlindungan kepada pasien; b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi” ternyata tidak diderivasikan di dalam pasal-pasal di sekujur UU aquo, oleh karena itu dalam perspektif yang lebih jauh ke depan, UU aquo tidak saja merugikan profesi kedokteran itu sendiri, namun juga masyarakat secara luas; 2. Bahwa pencantuman sanksi pidana sebagaimana ditentukan oleh Pasal 75 ayat (1); Pasal 76; Pasal 79 huruf a; dan Pasal 79 huruf c UU aquo dalam perspektif hukum pidana yang humanistis dan terkait erat dengan kode etik, adalah tidak tepat dan tidak proporsional. Hal demikian ini dapat kita simak dari pendapat pakar hukum pidana Prof. Muladi dan Prof.Barda Nawawi Arif di dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Hukum Pidana pada halaman 73, menegaskan: (1) Jangan menggunakan hukum pidana dengan secara emosional untuk melakukan pembalasan semata-mata; (2) Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya; (3) Hukum pidana jangan dipakai guna mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan dan kerugian yang lebih sedikit (4) Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian yang ditimbulkan oleh pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana yang akan dirumuskan; (5) Hukum pidana jangan digunakan apabila hasil sampingan (side effect) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasikan; (6) Jangan menggunakan hukum pidana, apabila tidak dibandingkan oleh masyarakat secara kuat; (7) Jangan menggunakan hukum pidana, apabila penggunaannya tidak dapat efektif (unenforcetable); (8) Hukum pidana harus uniform, unverying, dan universalistic; (9) Hukum pidana harus rasional; (10) Hukum pidana harus menjaga keserasian antara order,legitimation and competence; (11) Hukum pidana harus menjaga keselarasan antara social defence, procedural fairness and substantive justice; (12) Hukum pidana harus menjaga keserasian antara moralitas komunal, moralitas kelembagaan dan moralitas sipil; (13) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan korban kejahatan; (14) Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan; (15) Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan yang besifat non-penal (prevention without punisment); (16) Penggunaan hukum pidana sebaiknya diarahkan pula untuk meredam faktor kriminogen yang menjadi kausa utama tindak pidana (Lihat , Tongat, SH, MHum, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, UMM press, Malang, 2004, hal. 31-32). Berdasarkan uraian di atas, Pemohon memberanikan diri untuk berandai-andai, jika saja pembentuk UU aquo terlebih dahulu membaca advis kedua profesor hukum pidana tadi, maka pasal-pasal yang berisi sanksi pidana yang tidak ada relevansinya dengan tujuan dan azas yang melandasi terbentuknya UU aquo, niscaya tidak akan terjadi. Demikian kesimpulan kami selaku Pemohon. Selanjutnya berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, berkenan memutus perkara No. 004/PUU-V/2007 dengan putusan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya; 2. Menyatakan materi muatan Pasal 37 ayat (2); Pasal 75 ayat (1); Pasal 76; Pasal 79 huruf a; dan Pasal 79 huruf c UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 3. Menyatakan materi muatan pada Pasal 37 ayat (2); Pasal 75 ayat (1); Pasal 76; Pasal 79 huruf a; dan Pasal 79 huruf c UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Mohon keadilan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) Selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalil kesimpulan yang kami buat, perkenankanlah Pemohon mengajukan bukti-bukti tambahan berupa (a) keterangan tertulis dari Ahli yang diajukan Pemohon; (b) foto copy STR dan SIP pemohon I s/d VI; dan (c) foto copy surat pembaca Harian Kompas dan Jawa Pos (sebagaimana terlampir). Demikian, atas perhatian dan perkenannya kami Kuasa Hukum Pemohon mengucapkan terima kasih. Hormat Kami, A.n. Kuasa Hukum Pemohon, Sumali, SH, MH DAFTAR ALAT BUKTI TAMBAHAN 1. Fotocopy keterangan tertulis Ahli (bukti P-16); 2. Fotocopy STR dan SIP (bukti P-17); 3. Fotocopy kliping Surat Pembaca Harian Kompas dan Jawa Pos (bukti P-18);

2 comments:

  1. wow advokatnya cadas bener ... nama kantornya EDAN LAW
    bener bener cadas...

    ReplyDelete
  2. eh ada yang terlupa , khan putusan MK nya kan bunyinya gini

    Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    Menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

    lah terus , sanksi administratifnya dicantumin dimana ya ? tetep ada sangsinya khann?

    ReplyDelete

SILAHKAN MENGISI SARAN, KRITIK KOMENTAR ANDA :)