NAVIGATOR:    | HOME   | INFORMASI HUKUM |   | NEGARA |   | PERUNDANGAN |   | KAMUS HUKUM


Friday, April 20, 2007

PUTUSAN HAKIM KONSTITUSI

BKBH-UMM


PUTUSAN
Nomor 020/PUU-IV/2006
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan Putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
1. Drs. Arukat Djaswadi, Jabatan Ketua Yayasan Pusat Kajian Komunitas Indonesia (CSIC) beralamat di Manukan Krajan IV/23 Mojokerto, Jawa Timur;
Selanjutnya disebut sebagai --------------- Pemohon I;
2. K.H. Ibrahim, Jabatan Pengurus Yayasan Kanigoro Kediri, beralamat di Jalan Banjaran I/102 Kediri, Jawa Timur;
Selanjutnya disebut sebagai-------------- Pemohon II;
3. K.H.M. Yusuf Hasyim, Jabatan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, beralamat di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur;
Selanjutnya disebut sebagai--------------- Pemohon III;
4. H. Murwanto S, Jabatan Pengurus DPP Gerakan Patriot Indonesia, beralamat di Jalan Zeni AD VII No.9 Kompleks Zeni Kalibata, Jakarta Selatan;
Selanjutnya disebut sebagai-------------- Pemohon IV;
5. Abdul Mun’im, S.H, Jabatan Guru, beralamat di Kerajan Wetan Rt 05 Rw 05 Temuguruh, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur;
2
Selanjutnya disebut sebagai--------------- Pemohon V;
6. Drs. Moh. Said, Jabatan Ketua Paguyuban Korban Kekejaman PKI Madiun, beralamat di Desa Takeran, Kecamatan Takeran, Magetan, Jawa Timur.
Selanjutnya disebut sebagai-------------- Pemohon VI;
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 17 Agustus 2006 memberikan kuasanya kepada :
− Sumali, S.H., MH;
− Deddy Prihambudi, S.H;
− Dr. Eggy Sudjana, S.H;
− Aris Budi Cahyono, S.H;
Kesemuanya adalah Advokat dan Asisten pada Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Muhammadiyah Malang memilih domisili hukum di Kantor Jalan Raya Tlogomas No. 246 (Masjid AR Fahrudin Lt. 1), Telp. 0341-464318 Pswt 193 Malang- 65144 Jawa Timur. Baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri;
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------- PARA PEMOHON;
Telah membaca surat permohonan Pemohon;
Telah mendengar keterangan dari Pemohon;
Telah membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah;
Telah mendengar keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh Pemohon;
Telah memeriksa bukti-bukti;
DUDUK PERKARA
Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU KKR) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
3
Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Senin tanggal 06 September 2006 dan telah diregistrasi pada hari Senin tanggal 11 September 2006 dengan Nomor 020/PUU-IV/2006, yang telah diperbaiki dan disampaikan melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada pada hari Rabu tanggal 4 Oktober 2006;
Menimbang, bahwa Pemohon didalam permohonannya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
A. DASAR HUKUM PERMOHONAN
1. Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;
2. Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya;
3. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
4. Pasal 28G Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormartan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya; serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”;
5. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”;
6. Tap MPRS No. XXV/MPRS/Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan
4
Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Paham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme, Pasal 2 berbunyi: “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut, dilarang”;
7. Pasal 107b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, yang berbunyi: “ Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”;
8. Pasal 107d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, yang berbunyi: “Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun,menyevbarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”;
9. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Pancasila merupakan sumber dari segala hukum”;
10. Pasal 43 Aayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang berbunyi: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc”;
11. Bahwa ketentuan yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sungguh-sungguh telah bertentangan secara konstitusional dengan ketentuan Pasal 28C Ayat (2);
5
Pasal 28D Ayat (1); Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai pelaku sejarah peristiwa pengkhianatan Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) PKI dan sekaligus pegiat dan pengurus organisasi yang berkhidmat di dalam menangkal bangkitnya kembali organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ideologi Komunisme/Marxisme/Leninisme yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini;
2. Bahwa Pemohon berkeyakinan bahwa kehadiran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 bukannya akan menyelesaikan dan menyembuhkan luka-luka lama yang pernah ditimbulkan oleh aksi sepihak PKI pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) PKI, akan tetapi justru akan membangkitkan kembali sentimen ideologi dan dendam antar anak bangsa yang selama ini sudah berusaha dihapuskan dari memori kolektif bangsa;
3. Bahwa Pemohon mengalami peristiwa traumatik akibat tragedi berdarah pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan pengkhianatan G 30 S PKI tahun 1965, saat ini sungguh-sungguh merasakan ketidak amanan dan muncul rasa ketakutan yang sangat beralasan yakni bangkitnya kembali ideologi Komunisme/Marxisme/Leninisme di tanah air akibat diberlakukannya Undang-Undang a quo;
4. Bahwa Pemohon menganggap dengan berlakunya Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), maka hak konstitusional Pemohon sebagaimana tercantum di dalam Pasal 28 D Ayat (1); Pasal 28 G Ayat (1), Pasal 28 C Ayat (2) dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sungguh-sungguh dirugikan oleh berlakunya UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR;
C. Alasan Diajukannya Permohonan
Bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini secara objektif materi muatannya nyata-nyata membawa cacad hukum yang mendasar atau prinsipiil. Bahwa Undang-Undang a quo tidak saja potensial menciptakan ketidak pastian hukum dan sulit mewujudkan rasa keadilan, namun lebih banyak mendatangkan mudharat
6
ketimbang kemaslahatan bagi banyak orang di republik ini. Sehingga jika Undang-Undang a quo diimplementasikan dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat justru akan mengalami set back, oleh karena Undang-Undang a quo sangat potensial menimbulkan konflik di antara sesama anak bangsa yang pada akhirnya akan menjerumuskan bangsa ini ke jurang perpecahan dan kerusakan yang parah;
Bahwa bukti cacad hukum yang dikandung oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 dapat dijumpai pada bagian konsiderans baik pada bagian Menimbang dan Mengingat ternyata hanya mencantumkan landasan sosiologis dan yuridis. Sedangkan landasan filosofis yaitu Pancasila ternyata tidak tercantum baik secara tegas (explisit verbis) maupun secara tersirat. Padahal kita semua mafhum bahwa Pancasila di republik ini tidak saja memiliki makna strategis dan fundamelntal sebagai common denominator, sebagai way of life atau weltanschaung kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Bahkan lebih dari pada itu, dalam konteks juridis Pancasila merupakan azas atau prinsip hukum yang merupakan sumber nilai dan sumber norma bagi pembentukan hukum derivatnya atau turunannya seperti undang-undang dasar, undang-undang, Perpu, Peraturan Pemerintah; Perda, dan seterusnya. Hal demikian ini dapat kita simak dari rumusan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan: “Pancasila merupakan sumber dari segala hukum”. Oleh karena itu patut dipertanyakan terhadap UU a quo, yakni: Nilai-nilai atau norma-norma hukum apakah yang dipakai sebagai basis atau pijakan pembentukan Undang-Undang KKR? Mengapa Pancasila baik sebagai sumber nilai atau norma yang paling tinggi dan sekaligus sebagai sumber dari segala sumber hukum tidak dijadikan referensi filosofis oleh Undang-Undang KKR a quo? Atas ketiadaan jawaban tersebut dalam undang-undang a quo adalah rasional jika Pemohon berkeyakinan bahwa Undang-Undang KKR ini tidak saja bertentangan Undang-Undang Dasar 1945, bahkan bertentangan dengan sumber norma hukum Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri yakni Pancasila;
Bahwa sejarah perjalanan kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Republik Indonesia yang kini telah berusia 61 tahun pernah dan kerap diwarnai konflik sosial politik baik dalam aras horizontal maupun vertikal, dengan latar belakang yang cukup beragam seperti SARA dan juga faham idiologi atau
7
bahkan ingin mengganti idiologi Pancasila sebagaimana dijumpai pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan peristiwa G 30 S PKI tahun 1965;
Bahwa sebagaimana ditegaskan dalam konsiderans Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 ditegaskan: “(a) Bahwa paham atau ajaran Komunisme/ Marxisme, Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila; (b) Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme, Leninisme khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah kemerdekaan RI telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintah RI yang sah dengan jalan kekerasan; (c) Bahwa berhubung dengan itu perlu mengambil tindakan tegas terhadap PKI dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme, Leninisme;
Bahwa Undang-Undang KKR yang dimaksudkan sebagai instrumen extra judicial untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk di dalamnya peristiwa pemberontakan PKI yang terjadi pada tahun 1948 dan 1965, justru tidak mencantumkan Pancasila sebagai acuan utama mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi;
Bahwa sebagaimana kita pahami, Pancasila sebagai staats fundamental norm bersendikan lima sila di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Maha yang Esa yang kemudian ditegaskan di dalam Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Hal demikian ini sesungguhnya menegaskan bahwa sejatinya negara, masyarakat dan peradaban bangsa Indonesia dibangun dan disandarkan atas pijakan nilai-nilai relijius keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. Oleh karenanya adalah sesuatu yang niscaya dan sesuai dengan common sense apabila di bumi nusantara ini tidak dikehendaki dan ada penolakan keras terhadap segala bentuk kegiatan yang tidak merefleksikan nilai-nilai relijius sebagaimana yang tertuang di dalam Pancasila. Pasalnya setiap aktivitas baik individu maupun kelompok, organisasi yang tidak menghadirkan nilai-nilai spiritual Ketuhanan cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya (the ends justified means) bahkan dengan cara yang biadab dan bertentangan dengan agama sekalipun (Lihat Taufik Ismail,
8
Katastrofi Mendunia Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba, Yayasan Titik Infinitum, 2004, h.25, 300 );
Bahwasanya Pemohon juga mengetahui secara pasti tentang ideologi Komunisme/Marxisme/Leninisme yang pernah dipraktekkan oleh organisasi illegal Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun oleh organisasi onderbouwnya di Indonesia adalah jelas-jelas bertentangan dengan Ideologi Pancasila. Tidak saja bertentangan dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi juga dengan Sila-sila lainnya seperti Kemanusiaan yang Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kerakyatan/Keadialan; dan Keadilan Sosial.
Bahwa Pemohon sebagai pegiat gerakan anti komunis di Indonesia dan sekaligus sebagai saksi sejarah terhadap kekejaman dan keganasan organisasi PKI di tahun 1965, dan memiliki hak-hak konstitusional berupa jaminan, pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum; serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak azasi; demikian pula berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya; sebagaimana tercantum di dalam Pasal 28C Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1); Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Jelas dirugikan secara konstitusional akibat kekhawatiran dan perasaan traumatik yang cukup beralasan terhadap isi materi Undang-Undang KKR yang dimaksudkan sebagai instrumen di dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lampau tersebut yang justru akan mengampuni dan melegitimasi ideologi dan organisasi yang berseberangan dengan Pancasila;
Selanjutnya bukti bahwa Undang-Undang KKR ini jika diimplementasikan justru akan mendatangkan lebih banyak mudaharat (keburukan) nya ketimbang maslahat (manfaat) nya, dapat kita simak dari pendapat berbagai pegiat HAM dan sejarawan sebagaimana berikut ini:
Priscillia B Hayner: “....kendati demikian, harus dikatakan bahwa adanya KKR tidak lantas secara otomatis berarti telah berlangsung pemulihan pada semua tingkatan. Menurut saya hal itu harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh kesadaran. Saya tidak berani berpikir tentang manfaat KKR tatkala kita
9
membicarakan resiko dalam usaha ini. Kita tidak bisa bersikap naif dengan mengatakan bahwa menggali masa lampau senantiasa membawa pemulihan, karena yang lebih sering terjadi dalam usaha ini adalah timbulnya rasa “sakit”. Karenanya saya lebih setuju dalam jangka panjang akan lebih baik kalau kita mendorong keterlibatan masyarakat luas guna menghadapi langsung isu-isu tersebut. Upaya ini harus dilakukan secara hati-hati karena dapat memunculkan konflik baru dalam bentuk lain, baik pada aras komunitas ataupun individu tatkala kita telah membeberkan data. Korban bisa mengalami trauma kedua kali jika setelah menceritakan pengalamannya malah tidak mendapat semestinya” (lihat Ifdhal Kasim; Eddie Riyadi T., Kebenaran vs Keadilan, Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Elsam, 2003, h.21);
Asvi Warman Adam: “... Akan tetapi yang menjadi masalah bagi kalangan sejarawan adalah penggunaan sumber merupakan keniscayaan. Sumber itu bisa dari arsip, bisa juga dari sumber lisan. Tampaknya dalam banyak kasus persoalan arsip telah menjadi masalah yang mendasar. Bahkan saya mendengar arsip mengenai Tanjung Priok saja sudah sangat susah ditemukan..... Memang sistem kearsipan yang kita miliki sangat lemah. Secara otomatis persoalan ini akan mengganggu proses kerja KKR nantinya.... Sehingga yang harus diwaspadai jangan sampai KKR menjadi arena balas dendam. Karena saya mendengar ada suara perempuan yang menunggu kesempatan membalas sakit hatinya selama bertahun-tahun” (lihat Ifdhal Kasim; Eddie Riyadi T., Kebenaran vs Keadilan, Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Elsam, 2003, h. 149-150);
Rachland Nasidik: “Dalam menghadapi past human rights abuses, saya sangat keberatan kalau pilihan terbaik yang diambil adalah KKR... Kalau memang pilihan kita adalah rekonsiliasi, maka pertanyaannya adalah rekonsiliasi antara siapa? Itu saya kira satu masalah besar....Kalau dibandingkan dengan situasi Afrika Selatan, kita mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan konteks sosial politik di negara tersebut. KKR di sana dibentuk pertama-tama untuk menjawab kebutuhan meredakan tindak kekerasan yang terjadi. Dan harus diingat, proses rekonsiliasi di sana sepenuhnya adalah hasil dari politik negoisasi antara Nelson Mandela dengan rezim politik apartheid. Persetujuan yang dicapai adalah semua dilupakan dan pelakunya diberikan
10
pengampunan. Memang betul terdapat proses pencarian kebenaran, utamanya adalah court convention, guna pemberian amnesti. Sementara proses pemulihan korban dijalankan melalui testimoni.... Tetapi menurut saya di Indonesia kebutuhannya sama sekali berbeda, tidak ada kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi seperti di Afrika Selatan...Tapi yang terjadi di Indonesia menurut saya, sepenuhnya tidak hanya state violence, di sini terjadi problem rasialisme yang berhimpitan dengan kekuasaan.....Past human rights abuses di Indonesia betul-betul state violence, sehingga tidak ada kebutuhan guna meniru Afrika Selatan. Di sisi lain, kebutuhan kita bukanlah menghentikan kekerasan, tapi justru guna mencegah kejadian di masa lampau agar tidak terulang, sehingga yang dibutuhkan adalah justice ketimbang rekonsiliasi” (lihat Ifdhal Kasim; Eddie Riyadi T., Kebenaran vs Keadilan, Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Elsam, 2003, h. 52-55);
Bahwa Pemohon dalam hal ini sangat sependapat dengan pendapat para pakar yang dikutip di atas, yakni bahwa Undang-Undang KKR ini menyimpan resiko amat dahsyat untuk menimbulkan konflik sosial politik baru di antara sesama anak bangsa, yakni Undang-Undang KKR ini dipakai sebagai ajang pelampiasan balas dendam oleh para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, tentu saja dalam hal ini termasuk mereka-mereka para aktivis gerakan dan keturunan anggota eks organisasi terlarang PKI yang memposisikan dirinya sebagai korban;
Bahwa menurut Pemohon keberadaan Undang-Undang KKR a quo sejatinya adalah tidak wajib, bahkan kelahirannya lebih didasarkan oleh sikap apriori dan sikap ketidak percayaan (distrust) terhadap lembaga Pengadilan HAM Ad Hoc. Padahal secara a posteriori belum ada tuntutan atau vonnis dari khalayak masyarakat bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc sudah harus masuk kotak. Oleh karena itu adalah rasional jika kemudian dipertanyakan untuk apa menambah-nambah institusi yang baru jika keberadaannya justru menambah masalah dan bukannya menyelesaikan masalah;
Bahwa Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, berbunyi: “Pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi”. Berdasarkan pasal
11
tersebut, Pemohon menilai bahwa keberadaan Undang-Undang KKR ini tidaklah urgen dan tidak obyektif, oleh karena tidak satupun produk hukum yang mewajibkan untuk lahirnya Undang-Undang KKR. Artinya keberadaan Undang-Undang KKR a quo boleh ada dan boleh juga tidak ada;
Bahwa Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, menandaskan: “Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”. Oleh karena itu adalah tidak beralasan sama sekali jika ada sebagian orang mengkhawatirkan jika Undang-Undang KKR di makzulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka tidak ada lagi instrumen hukum yang tersedia untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam hal ini jawabnya adalah jelas Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM lah yang digunakan;
Bahwa berdasarkan keyakinan dan rasionalitas objektif terhadap Undang-Undang KKR ini lebih banyak mudeharatnya daripada maslahatnya, dan kehadirannya bukanlah bersifat wajib dan mendesak. Pemohon merasa bahwa sekali lagi hak-hak konstitusional Pemohon sebagaimana ditubuhkan dalam Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 secara potensial akan sulit diwujudkan secara optimal;
Selanjutnya Pemohon akan membuktikan bahwa Undang-undang a quo tidak akan mampu menjamin terwujudnya dimensi kepastian hukum dan rasa keadilan kepada seluruh pihak yang pernah terlibat peristiwa konflik sosial politik yang diwarnai aksi pelanggaran HAM berat di masa lalu, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban, yaitu dapt dijumpai pada konsep atau definisi yang merupakan kata kunci di dalam Undang-Undang KKR, yakni: Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Korban;
Bahwa apa yang dimaksud dengan Kebenaran dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang KKR adalah “kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat baik mengenai korban, tempat, maupun waktu”. Namun sayangnya di dalam Undang-undang a quo tidak dijumpai pasal-pasal yang menjelaskan tentang ukuran atau norma kebenaran suatu peristiwa tersebut, apakah peristiwa pelanggaran HAM tersebut secara valid dan obyektif benar-benar terjadi atau sekedar rekayasa semata. Jelasnya Undang-undang a quo tidak menjelaskan
12
prosedural pembuktian dan alat-alat bukti apakah yang wajib digunakan oleh KKR dan para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu, untuk membenarkan legal standing dan claim nya bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat terhadap dirinya (korban). Oleh karena itu Validitas dan efektifitas konsep dan pembuktian Kebenaran menurut Undang-Undang KKR ini menjadi subjektif dan tidak terukur. Tegasnya Undang-Undang KKR ini sangat susah untuk diwujudkan aspek kepastian hukum (certainty);
Bahwa Pemohon yang merupakan pengurus Gerakan Patriot yakni salah satu komponen masyarakat yang turut serta dalam Rapat Umum Dengar Pendapat (RUDP) dan berdialog dengan Pansus RUU KKR, pernah menyampaikan usulan tentang konsep kebenaran, yang intinya adalah bahwa pengungkapan kebenaran harus tunduk pada pertimbangan-pertimbangan: (1) Tunduk pada hukum sebab-akibat atau kelayakan, artinya suatu peristiwa jangan hanya diungkap dalam suatu momen saja tetapi dalam suatu proses dinamika; (2) Tunduk pada logika Psikologi massa artinya peristiwa perorangan tidak terlepas dari peristiwa antar kelompok yang lebih besar dimana masing-masing termasuk di dalamnya; (3) Sangat dipengaruhi anggapan atau opini masyarakat dalam memberikan penilaian/bobot kesalahan atau pelanggaran; (4) Sangat banyak sedikit kasus dan kelengkapan serta kemudahan atau kesulitan mendapat alat bukti; (5) faktor-faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya distorsi di dalam mengungkapkan kebenaran. Namun sayangnya usulan Pemohon tersebut diabaikan oleh DPR;
Bahwa penggunaan diksi atau kosa kata “Rekonsiliasi” sebagai titel Undang-Undang KKR bukan saja menimbulkan persoalan sosial-politis namun juga tak pelak menimbulkan problem yuridis. Sebagaimana dijumpai pada Pasal 1 Ayat (2) rekonsiliasi adalah “hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka rangka menyelesaikan pelanggaran HAM berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa”. Menurut Pemohon konsep atau batasan pengertian rekonsiliasi yang digunakan oleh Undang-undang a quo sungguh absurd dan a historis. Pasalnya Undang-undang a quo secara sengaja telah mengonstruksi sejarah dan peristiwa pelanggaran HAM di masa lampau dengan sedemikian rupa sehingga seolah-olah seluruh peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau dan seluruh korban
13
pelanggaran HAM adalah orang-orang yang tidak bersalah (innocence) ataupun kalau itu berupa organisasi maka organisasi tersebut adalah legal. Padahal secara objektif terdapat peristiwa kelam di dalam sejarah peradaban Indonesia yang justru dilakukan oleh orang-orang dan atau mereka yang tergabung dalam organisasi yang dinyatakan haram untuk hidup di bumi Indonesia, yakni organisasi PKI, hal mana jelas ditegaskan oleh ketentuan Pasal 2 Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 jo Pasal 107 (b) dan (d) Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Oleh karena itu ada0lah masuk akal jika kemudian dipertanyakan: apakah mereka-mereka yang jelas-jelas menjadi anggota PKI dan antek-anteknya dan kebetulan menjadi korban pelanggaran HAM berat pada masa lalu, termasuk juga dalam katagori mereka yang berhak melakukan rekonsiliasi dan bahkan berhak memperoleh restitusi dan kompensasi? Kalau jawabannya adalah boleh, maka inilah metode efektif untuk memutarbalikkan fakta sejarah. Oleh karena bisa jadi yang dulu dianggap penjahat setelah rekonsiliasi tiba-tiba menjadi pahlawan dan begitu pula sebaliknya. Sementara itu ekses lain dari rekonsiliasi yang difasilitasi oleh UU KKR ini dan justru mencemaskan dan menakutkan Pemohon adalah bakal bangkitnya kembali gerakan komunis di Indonesia. Inilah lonceng kebangkitan dan era come back nya ideologi Komunisme/Marxisme/Leninisme di Indonesia. Kalau itu yang diharapkan yaitu upaya pengaburan sejarah dan upaya legalitas ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme di Indonesia, maka Pemohon adalah warga negara yang paling depan untuk pasang badan untuk menolak rekonsiliasi;
Bahwa menurut Pemohon, secara teori hukum seharusnya konsep tentang Rekonsiliasi maupun pasal-pasal Undang-Undang KKR yang menyangkut ketentuan rekonsialiasi, mencantumkan klausula pengecualian atau exit clausula atau exceptional law. Oleh karena secara sosiologis peristiwa maupun pelaku pelanggaran HAM berat pada masa lalu, ternyata tidak semuanya dapat diputihkan. Faktanya hingga saat ini realitas obyektif menunjukkan bahwa bangsa ini telah bersiteguh dan bersikokoh untuk tidak menghapus dari memori kolektifnya terhadap dosa yang pernah dilakukan oleh organisasi PKI, bahkan secara konsensus nasional pun mind set rakyat Indonesia tersebut dipositifkan di dalam produk Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan
14
Terhadap Keamanan Negara Oleh karena itu menurut hemat Pemohon Undang-Undang KKR yang tidak mencantumkan produk Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 jo. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 sebagai indikator yang valid dan objektif di dalam mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi adalah Undang-undang yang improper, unwisdom dan invalid;
Bahwa Pemohon sangat menyangsikan mekanisme rekonsiliasi di dalam Undang-Undang KKR ini bisa memenuhi aspek keadilan semua pihak serta dapat berlaku efektif. Pasalnya dalam konteks penyelenggaraan rekonsiliasi yang berkaitan dengan pelanggaran/pengkhianatan terhadap pancasila, tidak diketemukan ketentuan di dalam Undang-undang a quo yang mempersyaratkan kewajiban untuk menyatakan penyesalan atau pertobatan dan permintaan maaf atas pengkhianatan institusi/partai/golongannya yang telah terbukti melakukan tindakan pengkhianatan ataupun tindak subversi lainnya;
Bahwa menurut Pemohon Undang-Undang KKR a quo secara objektif tidak relevan dan tidak signifikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia terutama berkenaan dengan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau. Bahwa kebutuhan utama Pemohon saat ini adalah keadilan bukannya rekonsiliasi. Oleh karena itu institusi Pengadilan HAM Ad Hoc dirasakan sudah cukup untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat dimasa lalu, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 43 Ayat (1) UU Pengadilan HAM Ad Hoc: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc”;
Bahwa tiadanya dimensi kepastian dan keadilan di dalam implementasi Undang-Undang KKR nantinya, terutama berkenaan dengan konsep kebenaran dan rekonsiliasi tersebut, maka Pemohon in casu merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28C Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1); Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 secara potensial akan sulit untuk diwujudkan secara optimal;
Selanjutnya mengenai rumusan tentang korban yang menurut Pemohon sangat tidak relevan oleh karena bersifat ekstentif yaitu memasukkan ahli waris dalam katagori korban. Hal demikian dapat kita simak dari rumusan korban di dalam Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang KKR yakni: “korban adalah perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik,
15
mental, maupun emosional, kerugian korban atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah ahli warisnya”. Menurut hemat Pemohon perluasan subyek hukum korban yang demikian ini sangat potensial untuk terjadinya distorsi dan manipulasi terhadap proses KKR itu sendiri. Setidaknya ada dua problem mendasar yang muncul sebagai konsekuensi logis diperluasnya klasifikasi korban, yaitu: Pertama, Pembuktian jati diri atau identitas ahli waris, apakah seseorang itu betul-betul valid sebagai ahli waris korban ataukah hanya sekedar mengaku-ngaku saja dan bagaimana pembuktiannya apakah cukup dengan dokumen kartu keluarga misalnya; dan bagaimana jika tidak memiliki dokumen haruskah menghadirkan saksi-saksi; bagaimana kriteria saksi dan kekuatan kebenaran keterangan saksi tersebut. Kedua, masalah pembuktian tentang kebenaran telah terjadinya pelanggaran HAM berat atas orang tuanya. Jelasnya mana mungkin seorang ahli waris yang tidak mengalami sendiri (testimonium de auditu) dapat menjadi pihak yang mengadukan bahwa hak-hak orang tuanya telah dilanggar dan untuk selanjutnya memperoleh restitusi dan atau kompensasi. Kalau sebatas hak-hak ekonomi keperdataan hal demikian mudah dibuktikan melalui surat-surat, akan tetapi kalau pelanggaran HAM berupa kekerasan fisik sedangkan orang tuanya sudah meninggal dunia, lantas bagaimana membuktikan kebenaran pengaduan tersebut. Apalagi biasanya kekerasan fisik akibat pelanggaran HAM berat tidak mungkin dilengkapi dengan medical record atau pun visum et repertum. Jadi adalah mustahil apabila ahli waris dikatagorikan sebagai korban, kalau sebatas menerima restitusi dan atau kompensasi itu memang benar, akan tetapi kalau menjadi pihak atau subyek yang mengajukan pengaduan kepada KKR sungguh sesuatu yang musykil.
Bahwa terhadap ekstentifnya batasan korban di dalam UU KKR ini, maka Pemohon in casu merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28C Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1); Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 secara potensial akan sulit untuk diwujudkan secara optimal;
Bahwa sebagai penutup, Pemohon ingin menegaskan bahwa pada prinsipnya Pemohon tidak menolak rekonsiliasi yang dilakukan dengan jujur, adil dan bermaslahat serta dikemas dengan mekanisme yang elegant dan fair.
16
Sebagaimana diajarkan oleh agama dan keyakinan kami bahwa Tuhan saja mengampuni hambanya yang pendosa dengan syarat melakukan taubat yang nasuha (murni). Dan sementara itu agama Pemohon juga menganjurkan agar menjadi manusia pemaaf dan memperkuat tali silaturrahim dengan sesama. Dalam konteks ini Pemohon sebagai manusia biasa yang dlaif dan khilaf tentunya tidak berpretensi menjadi yang paling benar dan bersikap melebihi Tuhan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini Pemohon ingin menghadirkan satu bait puisi yang ditulis Rendra yang tercantum dalam kumpulan puisinya yang berjudul Sajak Potret Pembangunan :
Aku mendengar jerit hewan terluka;
Ada orang memanah rembulan;
Ada anak burung jatuh dari sarangnya;
Kesaksian harus diberikan;
Agar kehidupan tetap terjaga;
Demikian uraian dalil-dalil yang Pemohon ajukan sebagai dasar Pengajuan Pemohonan Pengujian Bagian Konsiderans; Pasal 1 Ayat (1); Pasal 1 Ayat (2); dan Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Selanjutnya berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon agar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, berkenan memeriksa permohonan Pemohon dan memutuskan sebagai berikut :
- Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
- Menyatakan Bagian Konsiderans; Pasal 1 Ayat (1); Pasal 1 Ayat (2); dan Pasal 1 Ayat (5) UndangUundang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
- Menyatakan materi muatan pada Bagian Konsiderans; Pasal 1 Ayat (1); Pasal 1 Ayat (2); dan Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
17
- Mohon keadilan yang seadil-adilnya.
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat/tertulis yang di lampirkan dalam permohonan dan bukti tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2006. Bukti-bukti tersebut oleh Pemohon telah dibubuhi materai dengan cukup, dan berupa tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P- 12 yaitu:
1. Bukti P- 1. Fotokopy Surat Kuasa Pemohon;
2. Bukti P- 2 Fotokopy Kartu Identitas Pemohon ;
3. Bukti P- 3 Fotokopy Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945
4. Bukti P- 4 Fotokopy Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966;
5. Bukti P- 5 Fotokopy Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR;
6. Bukti P- 6 Fotokopy Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara;
7. Bukti P- 7 Fotokopy Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
8. Bukti P- 8 Fotokopy Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
9. Bukti P-9a Fotokopy kesaksian dan pesan;
Bukti P-9b Fotokopy Kesaksian Penyerobotan Tanah (lahan) milik PG Ngadirejo oleh BTI/PKI di Jengkol Kec. Plosoklaten, Kab Kediri atas nama H. MOH. IBRAHIM.
Bukti P-9c Kesaksian H. Masduqi Moeslim;
Bukti P-9d Kesaksian mengenai Penyerobotan Tanah (Lahan) Milik PG. Ngadirejo oleh BTI/PKI di Jengkol Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri yang diajukan oleh Setiarsa, SH;
Bukti P-9e Kesaksian mengenai Penyerobotan Tanah (Lahan) Milik PG. Ngadirejo oleh BTI/PKI di Jengkol Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri yang diajukan oleh Basori;
Bukti P-9f Nama-nama Korban Umat Islam dan Para Tokoh Umat Islam Yang di Bunuh Oleh Kebiadaban Gerombolan PKI di Blitar Selatan Tahun 1965-1968;
18
Bukti P-9g Keterangan korban mengenai Dampak Psikologis Penyiksaan dan Pembantaian Umat Islam dan Para Tokoh Umat Islam Oleh Gerombolan PKI di Blitar Selatan 1967-1968 sebelum operasi Trisula;
Bukti P-9h Giat Radikal Kiri;
10. Bukti P-10 Poster Aku Bangga Jadi Anak PKI
Bukti P-10b Fotokopy MEMORADUM Forum Koordinasi Korban Peristiwa ‘65 dalam acara Dengar pendapat dengan PANSUS RUU tentang KKR. Jakarta 19 Nopember 2003.
11. Bukti P-11 Copy elektronik (VCD) tentang kesaksian keluarga koban dan masyarakat atas kekejaman PKI di beberapa daerah di Jawa Timur;
12. Bukti P-12 Kliping koran dari Media cetak Kompas terbitan sabtu 4 November 2006 Mengenai KKR sudah kehilangan Momentum;
Menimbang bahwa selain memberikan keterangan lisan di persidangan, pihak pemerintah juga memberikan keterangan tertulis, bertanggal 13 November 2006 pada persidangan hari Senin tanggal 13 November 2006, di terima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Senin tanggal 13 November 2006, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut;
I. UMUM
Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, yang bersifat universal dan kekal abadi. Karena itu hak asasi manusia harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, ditegakan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun baik orang per-orang sebagai individu maupun oleh Pemerintah.
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida (crimes again humanity, genocide), yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran serta menegakkan keadilan dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi guna mencapai persatuan dan kesatuan
19
nasional. Pengungkapan kebenaran juga bertujuan untuk kepentingan para korban dan/atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi.
Selain amanat tersebut diatas, pembentukan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini juga didasarkan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang menugaskan untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dalam undang-undang.
Untuk menelusuri dan mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, perlu dilakukan langkah-langkah konkret dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang menyatakan: Ayat (1) ”Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi”; Ayat (2) ”Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dibentuk dengan Undang-Undang”.
Selain bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi ini juga melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah yang ditempuh adalah pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.
Pembentukan undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi antara lain didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
1. Adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida (crimes againt humanity, genocide) yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
20
Asasi Manusia, yang sampai saat ini belum dipertanggungjawabkan secara tuntas, sehingga korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya masih belum mendapatkan kepastian mengenai latar belakang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat terhadap korban. Selain belum mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi atas penderitaan yang mereka alami, pengabaian atas tanggung jawab ini telah menimbulkan ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan yang besar terhadap institusi hukum karena negara dianggap memberikan pembebasan dari hukuman kepada para pelaku.
2. Penyelesaian secara menyeluruh terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, sangat urgen dan mendesak untuk segera dilakukan karena masih adanya sikap sebagian masyarakat yang cenderung sinis, apatis dan tidak puas terhadap cara penanganan Pemerintah pada pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Disamping itu, faktor ketegangan politik yang terjadi di negara kesatuan Republik Indonesia juga tidak boleh diabaikan dan dibiarkan terus berlarut-larut tanpa adanya kepastian penyelesaiannya.
3. Dengan diungkapkannya kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) diharapkan dapat diwujudkan rekonsiliasi guna menegakkan persatuan dan kesatuan nasional.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi secara substansial berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum (due process of law), tetapi lebih terfokus mengenai pencarian dan pengungkapan kebenaran, pertimbangan amnesti, pemberian konpensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
21
warisnya, sehingga diharapkan akan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi dan persatuan nasional.
Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission), pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asai Manusia harus diidentifikasi. Apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden.
Apabila permohonan amnesti tersebut beralasan dan cukup memadai untuk dikabulkan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, harus diberikan kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi. Apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden maka kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi tidak diberikan oleh negara, dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut ditindaklanjuti untuk diproses/diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Apabila terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diperiksa dan diputus oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc (Pengadilan HAM Ad Hoc) tidak lagi berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut , kecuali apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden. Demikian pula sebaliknya, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc (Pengadilan HAM Ad Hoc) maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak berwenang untuk menangani penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut. Dengan demikian, putusan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc bersifat final dan mengikat (final and binding).
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission), dibentuk berdasarkan asas-asas kemandirian, bebas dan tidak memihak;
22
kemaslahatan; keadilan; kejujuran; keterbukaan; perdamaian; dan persatuan bangsa. Kedepan diharapkan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida (crimes againt humanity, genocide) yang terjadi pada masa lalu dapat diselesaikan diluar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian (rekonsiliasi) sesama anak bangsa dalam rangka menegakkan persatuan dan kesatuan nasional dengan semangat saling pengertian dan saling memaafkan.
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu :
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI, pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu :
a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
23
c. bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Menurut para Pemohon dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 5, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan Para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Juga apakah kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causaal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon yang menyatakan dirinya sebagai perseorangan dalam permohonannya tidak secara tegas menguraikan dan menjelaskan hak dan/kewenangan konstitusional mana yang dirugikan atas keberlakuan beberapa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, karena para Pemohon hanya menguraikan tentang pengalaman pribadi yang mengerikan dan menimbulkan peristiwa traumatik akibat tragedi berdarah pemberontakan dan penghianatan G. 30 S PKI, selain itu para Pemohon juga sangat mengkhawatirkan bangkitnya kembali oganisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ideologi Komunisme, Marxisme, Leninisme yang pada gilirannya dapat menimbulkan perpecahan diantara anak bangsa di Republik Indonesia.
24
Kemudian jika para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka hal ini perlu dipertanyakan hak konstitusional para Pemohon mana yang dirugikan?, apakah para Pemohon sebagai perseorangan itu sendiri, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), komunitas pondok pesantren, ataupun persatuan guru pada umumnya, karena Para Pemohon juga tidak secara tegas dan rinci menjelaskan siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan undang-undang a quo.
Pemerintah berpendapat para Pemohon baik yang berprofesi sebagai ketua sebuah yayasan dan/atau paguyuban, pengasuh pondok pesantren maupun guru nyata-nyata tidak terganggu, tanpa terkurangi sedikitpun dan melaksanakan aktifitas yang berjalan sebagaimana mestinya atas berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sehingga tidak terdapat hubungan spesifik (khusus) maupun hubungan sebab akibat (causal verband), juga tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan yang bersifat faktual maupun potensial antara Pemohon dengan konstitusionalitas keberlakuan undang-undang a quo.
Karena itu Pemerintah meminta kepada para Pemohon melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah beranggapan bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon atas keberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, karena itu kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon ditolak (void) atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan penjelasan Pemerintah atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun
25
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI.
Sehubungan dengan anggapan para Pemohon dalam permohonannya bahwa Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 5 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang menyatakan:
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kebenaran adalah kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat, maupun waktu.
2. Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.
3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang selanjutnya disebut Komisi, adalah lembaga independent yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi.
4. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
5. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
Ketentuan tersebut diatas dianggap bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi sebagai berikut :
26
Pasal 28C Ayat (2): “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya “.
Pasal 28D Ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum“.
Pasal 28G Ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang meupakan hak asasi “.
Pasal 29 Ayat (1): “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa “
Berkaitan dengan keberatan/anggapan tersebut diatas, Pemerintah dapat menyampaikan penjelasan sebagai berikut :
A. Penjelasan sosiologis dan filosofis terbentuknya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Bahwa pembentukan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :
1. Bahwa adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida (crimes againt humanity, genocide) yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang sampai saat ini belum dipertanggungjawabkan secara tuntas, sehingga korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya masih belum mendapatkan kepastian mengenai latar belakang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat terhadap korban. Selain belum mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi atas penderitaan yang mereka alami, pengabaian atas tanggung jawab ini telah menimbulkan ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan yang besar terhadap institusi hukum karena negara dianggap memberikan pembebasan dari hukuman kepada para pelaku.
27
2. Bahwa Penyelesaian secara menyeluruh terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violations of human rights) yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, sangat urgen dan mendesak untuk segera dilakukan karena masih adanya sikap sebagian masyarakat yang cenderung sinis, apatis dan tidak puas terhadap cara penanganan Pemerintah pada pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Selain itu, faktor ketegangan politik yang terjadi di negara kesatuan Republik Indonesia juga tidak boleh diabaikan dan dibiarkan terus berlarut-larut tanpa adanya kepastian penyelesaiannya.
3. Bahwa dengan diungkapkannya kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, maka melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) diharapkan dapat diwujudkan rekonsiliasi guna menegakkan persatuan dan kesatuan nasional.
4. Bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) merupakan sebuah ikhtiar kolektif yang mengedepankan ”nilai-nilai islah” dan ”saling memaafkan” dari bangsa Indonesia dalam rangka perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia, yang pada masa lalu (sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat (gross violations of human rights) seringkali dinisbikan bahkan dianggap tidak ada, bahkan tanpa dipermasalahkan dan diselidiki siapa pelaku, siapa korbannya dan berapa jumlah korbannya.
5. Bahwa dengan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat kedepan diharapkan tidak terulang dan terjadi lagi, seperti pepatah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The truth and reconsiliation commission) Argentina yang menyebutnya sebagai “Nunca Ma’as” (jangan terulang lagi), di Afrika Selatan menggunakan istilah “to forgive but not to forget”, atau
28
dengan sindiran yang menggelitik “Tu paux marcher sur I’Afrique, mais n’est marche pas sur I’Africain” (anda boleh berjalan diatas tanah Afrika, tetapi jangan sekali-kali berjalan diatas orang Afrika).
Sehingga dengan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dengan mengedepankan semangat “nilai-nilai islah” dan “saling memaafkan” atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu, kedepan diharapkan segera dapat terwujud rekonsiliasi nasional dalam rangka memantapkan persatuan dan kesatuan nasional.
B. Penjelasan atas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dimohonkan untuk diuji, yaitu sebagai berikut:
1. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 5 Undang-Undang a quo terdapat pada Ketentuan Umum (Bab I) yang memuat tentang batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan dan hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan (Lampiran C.1.74. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
2. Bahwa karena Ketentuan Umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberikan penjelasan, karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa, secara utuh dan bulat sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda (multy interpretation), yang pada gilirannya dapat menciptakan kepastian hukum (rechtszekerheid).
3. Bahwa Ketentuan Umum juga digunakan sebagai sarana memperkenalkan istilah-istilah yang belum dikenal oleh masyarakat, selain itu ketentuan umum juga dapat dikatakan sebagai roh/jantungnya suatu undang-undang, karena digunakan untuk merumuskan pengertian dalam pasal-pasal berikutnya.
29
Dari uraian diatas, maka jikalaupun anggapan para Pemohon itu benar adanya, dimana materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dimohonkan untuk diuji dianggap tidak sesuai dengan implementasi dilapangan, karena dianggap potensial dapat menimbulkan konflik sosial politik diantara sesama anak bangsa yang pada akhirnya akan menjerumuskan bangsa ini kejurang perpecahan dan kerusakan yang parah, maka hal tersebut tidak berkaitan dengan konstitusionalitas keberlakuan suatu undang-undang, tetapi berkaitan dengan penerapan norma undang-undang itu sendiri.
Selain itu, Pemerintah juga tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang menganggap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, telah menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid), dan lebih banyak mendatangkan mudharat ketimbang kemaslahatan bagi orang banyak. Justru sebaliknya dengan diberlakukannya undang-undang ini dapat menciptakan kepastian hukum (rechtszekerheid), antara lain :
a. Terdapatnya kepastian model atau pilihan penyelesaian apakah melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau Pengadilan HAM Ad Hoc atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
b. Terdapatnya kepastian diketahuinya pelaku dan korban atas kejahatan pelangaran hak asas manusia yang berat yang terjadi pada masa lalu.
c. Terdapatnya kepastian untuk memperoleh amnesti bagi pelaku kejahatan pelangaran hak asasi manusia yang berat, disisi lain terdapatnya kepastian korban dan/atau ahli warisnya untuk memperoleh kompensasi dan restitusi.
Dari uraian tersebut diatas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 5 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tidak merugikan hak dan/atau
30
kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut diatas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan: Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 5 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Menyatakan Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 5 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tetap mempunyai kekuatan hukum dan berlaku mengikat diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyampaikan keterangan tertulis, bertanggal kosong November 2006 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa tanggal 28 November 2006 pukul 13.20 WIB, menerangkan sebagai berikut;
A. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi yang Dimohonkan Uji Materiil :
1. Bagian Konsideran, bahwa bagian konsideran menimbang dan mengingat hanya mencantumkan landasan sosiologis dan yuridis. Sedangkan
31
landasan filosofis yaitu Pancasila tenyata tidak tercantum baik secara tegas maupun secara tersirat.
2. Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Kebenaran adalah kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat, maupun waktu.
3. Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.
4. Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah juga ahli warisnya.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 5 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah:
1. Pasal 28C Ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya;
2. Pasal 28D Ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;
3. Pasal 28G Ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
32
4. Pasal 29 Ayat (1) menyatakan Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Hak-hak Konstitusional Pemohon yang Dilanggar :
1. Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Kebenaran adalah kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat, maupun waktu. Dalam undang-undang a quo tidak ditemui pasal-pasal yang menjelaskan tentang ukuran atau norma kebenaran suatu peristiwa tersebut. Undang-undang a quo tidak menjelaskan prosedural pembuktian dan alat-alat bukti apakah yang wajib digunakan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan para korban HAM berat di masa lalu untuk membenarkan legal standing dan tuntutannya. Validitas dan efektivitas konsep dan pembuktian kebenaran menurut undang-undang a quo menjadi subjektif dan tidak terukur.
2. Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.
Menurut Pemohon pengertian Rekonsiliasi dianggap absurd dan a historis. Hal ini karena undang-undang a quo secara sengaja telah mengkonstruksi sejarah dan peristiwa pelanggaran HAM di masa lampau sedemikian rupa sehingga seolah-olah seluruh peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lampau dan seluruh korban adalah orang yang tidak bersalah. Konsep Rekonsiliasi dalam Undang-Undang a quo seharusnya mencantumkan klausula pengecualian karena ternyata tidak semuanya dapat diputihkan. Selain itu konsep rekonsiliasi secara obyektif tidak relevan dengan kebutuhan saat ini yaitu keadilan bukan rekonsiliasi, sehingga Pengadilan HAM Ad Hoc danggap sudah cukup.
3. Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian,
33
pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah juga ahli warisnya.
Oleh Pemohon pengertian korban dianggap tidak relevan karena bersifat ekstensif dengan memasukkan ahli waris termasuk dalam kategori korban khususnya berkenaan dengan masalah pembuktian jati diri ahli waris dan pembuktian kebenaran telah terjadinya pelanggaran HAM berat atas keluarga korban mengingat ahli waris tidak mengalami sendiri (testimonium de auditu) sehingga tidak mungkin menjadi pihak yang mengadukan kejadian yang telah melanggar hak-hak keluarganya.
4. Berdasarkan uraian pasal-pasal yang diajukan judicial review tersebut Pemohon merasa telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena tidak adanya dimensi kepastian dan keadilan dalam implementasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
C. Keterangan DPR RI Terhadap Permohonan Pemohon :
1. bahwa dalam konsiderans Menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (selanjutnya disebut UU KKR) sudah memuat nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam Pancasila sebagai sumber nilai atau norma yang paling tinggi (grundnorm) dan sekaligus menjadi sumber dari segala sumber hukum. Secara tegas di dalam konsideran huruf a tersebut dinyatakan keharusan untuk pengungkapan pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang bertujuan mengungkapkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional. Dalam hal ini, menegakkan keadilan, budaya menghargai hak asasi manusia, dan persatuan nasional merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian, konsiderans UU KKR mengandung pokok-pokok pikiran yang memuat unsur filosofis yang menjadi latar
34
belakang pembuatannya, sebagaimana diatur di dalam lampiran angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. bahwa dalam konsiderans Mengingat tidak ada keharusan mencantumkan Pancasila sebagai dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa dasar hukum itu adalah yang memuat dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Peraturan Perundang-undangan tersebut (lampiran angka 26). Pancasila yang juga sebagai staatsfundamentalnorm maka secara otomatis menjadi sumber rujukan pengaturan negara dan dalam bentuk apapun peraturan yang dilahirkan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Oleh karenanya, ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sangatlah jelas menyebutkan Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.
3. bahwa mengenai definisi Kebenaran dalam Pasal 1 angka 1 yang menurut Pemohon dalam Undang-Undang a quo tidak ditemui pasal-pasal yang menjelaskan tentang ukuran atau norma kebenaran suatu peristiwa dan tidak menjelaskan prosedural pembuktian dan alat-alat bukti yang wajib digunakan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu untuk membenarkan legal standing dan tuntutannya. Validitas dan efektivitas konsep dan pembuktian kebenaran menurut Undang-Undang a quo menjadi subjektif dan tidak terukur.
Terhadap dalil yang diuraikan Pemohon tersebut dapat dijelaskan bahwa pada awalnya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (selanjutnya disebut KKR) dimaksudkan sebagai usaha bersama seluruh komponen bangsa untuk mengedepankan nilai-nilai ’islah’ bagi bangsa Indonesia dalam rangka perlindungan dan penegakan HAM yang pada masa lalu (sebelum berlakunya Undang-Undang tentang Pengadilan HAM) banyak terjadi pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights)
35
dan seringkali tidak dipermasalahkan bahkan tidak diselidiki siapa yang menjadi pelaku dan korban sebenarnya. Dengan dibentuknya KKR, kita secara bersama-sama mencoba mengurai peristiwa-peristiwa pahit berupa pelanggaran HAM berat di masa lalu sehingga jelas duduk perkara yang sebenarnya dan jelas pula siapa pelaku dan korbannya yang kemudian diharapkan adanya upaya ke arah penyelesaian yang baik yang dapat diterima semua pihak.
Adapun pernyataan Pemohon yang menganggap tidak adanya ukuran kebenaran suatu peristiwa dan prosedur pembuktian yang jelas dan alat-alat bukti yang digunakan, tidak sepenuhnya benar. Di dalam UU KKR khususnya dalam Pasal 7 Ayat (1) dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya komisi mempunyai wewenang antara lain melaksanakan penyelidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, meminta keterangan kepada korban, ahli waris korban, pelaku dan atau pihak lain, meminta dan mendapatkan dokumen resmi serta memanggil orang-orang terkait guna memberikan keterangan. Kewenangan–kewenangan yang dimiliki KKR tersebut tentunya dilaksanakan dalam rangka mengungkap kebenaran suatu peristiwa pelanggaran HAM. Sebagai lembaga ekstra yudisial, KKR tentunya tidak dapat disamakan dengan lembaga peradilan biasa menyangkut prosedur pembuktian dan alat-alat bukti yang digunakan. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 huruf b yaitu bahwa yang dimaksud penyelidikan adalah adalah tindakan mencari, mengumpulkan dokumen/bukti lain yang diperlukan, dan mengecek kebenaran fakta yang diungkapkan oleh pelaku, tetapi tidak perlu sampai pemeriksaan sebagaimana yang dilakukan oleh penyelidik pro yustisia sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
Mengenai ukuran kebenaran yang digunakan tentunya adalah kebenaran yang terungkap sebagai hasil dari suatu proses penyelidikan yang dilakukan oleh KKR yang sudah sesuai mengikuti cara-cara dan prosedur yang ditetapkan dalam UU KKR dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf a.
36
4. bahwa Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.
Menurut Pemohon pengertian Rekonsiliasi dianggap absurd dan a historis. Hal ini karena Undang-Undang a quo secara sengaja telah mengkonstruksi sejarah dan peristiwa pelanggaran HAM di masa lampau sedemikian rupa sehingga seolah-olah seluruh peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lampau dan seluruh korban adalah orang yang tidak bersalah. Konsep Rekonsiliasi dalam Undang-Undang a quo seharusnya mencantumkan klausul pengecualian karena ternyata tidak semuanya dapat diputihkan. Selain itu konsep rekonsiliasi secara objektif tidak relevan dengan kebutuhan saat ini yaitu keadilan bukan rekonsiliasi, sehingga Pengadilan HAM Ad Hoc dianggap sudah cukup.
Terhadap dalil yang diuraikan Pemohon tersebut dapat dijelaskan bahwa pemberlakukan UU KKR dimaksudkan sebagai fokus pada penyelesaian berbagai persoalan di masa lalu yang masih menjadi beban politik dalam kehidupan bernegara. Gagasan ”rekonsiliasi” diharapkan untuk menyelesaikan persoalan balas dendam politik atas sejumlah kesalahan politik (pelanggaran HAM berat) di masa lalu yang belum terselesaikan. Penuntasan pelanggaran HAM haruslah didasari dalam bingkai rekonsiliasi nasional dan bukan atas dasar politik balas dendam, dalam pengertian bahwa pelaksanaan rekonsiliasi itu dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
Adapun anggapan Pemohon bahwa Pengadilan HAM sudah cukup sehingga keberadaan KKR tidak diperlukan, dapat diterangkan bahwa KKR dibentuk tidak berfungsi sebagai pengganti (substitusi) tetapi pelengkap (komplementer) terhadap Pengadilan HAM (sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM), yang tidak mengatur proses penuntutan hukum tetapi hanya mengatur proses pengungkapan kebenaran, pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban dan pemberian amnesti kepada pelaku. Selain
37
itu kedudukan KKR sebagai lembaga yang bersifat Ad Hoc yang mendukung adanya kepastian hukum bagi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bersifat sementara dan keberadaannya dibatasi waktu, sehingga pada saat batasan waktu yang tersedia telah habis maka terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu dapat ditempuh penegakan hukum melalui Pengadilan HAM Ad Hoc.
5. bahwa Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah juga ahli warisnya.
Oleh Pemohon pengertian korban dianggap tidak relevan karena bersifat ekstensif dengan memasukkan ahli waris termasuk dalam kategori korban khususnya berkenaan dengan masalah pembuktian jati diri ahli waris dan pembuktian kebenaran telah terjadinya pelanggaran HAM berat atas keluarga korban mengingat ahli waris tidak mengalami sendiri (testimonium de auditu) sehingga tidak mungkin menjadi pihak yang mengadukan kejadian yang telah melanggar hak-hak keluarganya.
Terhadap dalil Pemohon di atas dapat diterangkan bahwa dimasukkannya ahli waris sebagai korban adalah sudah tepat mengingat kedudukannya sangat penting sebagai mata rantai lanjutan dalam proses pengungkapan kebenaran melalui pemberian keterangan apabila korban telah meninggal dunia, karena ahli waris dimungkinkan mengetahui keadaan si korban karena kedekatan atau mengalami secara tidak langsung dampak dari pelanggaran HAM berat yang dialami korban yang telah meninggal dunia. Selain itu kedudukan ahli waris dari si korban juga sebagai pihak yang paling berhak terhadap kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi apabila terungkap di kemudian hari telah terjadi pelanggaran HAM berat yang menimpa keluarganya.
6. Secara aktual di dalam proses pembahasan RUU KKR, gagasan mengenai kebenaran dan rekonsiliasi memang gagasan yang paling banyak menuai
38
perdebatan. Perdebatan menyangkut apa yang dimaksud dengan kebenaran dan rekonsiliasi, bagaimana gagasan kebenaran dijabarkan serta tindak lanjut dari pengungkapan kebenaran. Memang diakui, pemaknaan terhadap kebenaran dan rekonsiliasi meskipun telah jelas dirumuskan dalam undang-undang, kerap menciptakan pandangan-pandangan yang berbeda tentang kebenaran dan rekonsiliasi tersebut akibat kuatnya dimensi politik dan hukum yang mengikat pemaknaan banyak orang tentang kebenaran dan rekonsiliasi. Namun pada akhirnya sesungguhnya memang tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak dan pada akhirnya rumusan ’kebenaran’ yang ada dalam UU KKR merupakan rumusan yang maksimal dihasilkan oleh pembuat undang-undang, dan rekonsiliasi adalah jalan tengah terbaik yang ditempuh oleh bangsa guna menghilangkan beban politik dalam kehidupan bernegara agar tercipta perdamaian dan persatuan bangsa.
Menimbang bahwa pada persidangan pada hari Senin, tanggal 13 November 2006, telah didengar keterangan tiga orang ahli dan tiga orang saksi dibawah sumpah yang diajukan Pemohon yang pada pokoknya sebagai berikut:
AHLI PROF. MUHAMMAD NOOR SYAM.
− Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 ini ada beberapa hal yang patut dianggap sebagai suatu hal yang menyebabkan cacat hukum. Sehingga validitasnya ahli ragukan. Pertama, di dalam menimbang, tidak disebut sama sekali dasar dan sumber hukum dari UU KKR. Seharusnya dasarnya adalah dasar Negara Republik Indonesia Pancasila, demikian pula bersumber dari segala sumber hukum Pancasila kita. Kedua UUD negara yang berlaku, yaitu UUD Proklamasi seutuhnya, terutama berkaitan dengan menimbang dan mengingat tujuan dari KKR ini.
− Tujuan rekonsiliasi. Kalau rekonsiliasi tentu harus dilandasi oleh suatu kebenaran dulu, siapa yang benar, siapa yang salah, kemudian ibaratnya bermaafan. Kebenaran kami anggap valid dan terpercaya di dalam negara Republik Indonesia ini, minimal ada tiga kebenaran yang fundamental.
− Pertama, kebenaran dasar negara Pancasila seutuhnya dalam identitas dan integritas martabatnya sebagai bagian dari sistem filsafat timur yang berasaskan atheisme religius, bahkan monoteisme religius. Ini keunggulan
39
sistem filsafat Pancasila yang syukur menjadi pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia tercinta.
− Kedua, kebenaran UUD Proklamasi seutuhnya dengan menegakkan sistem kedaulatan rakyat dan asas negara hukum dan ini adalah sesuatu yang melandasi ketatanegaraan kita. Dulu, sekarang, dan masa depan, seutuhnya. Tidak satu pasal pun dapat direduksi, apalagi disimpangi. Misalnya Pasal 29, yang dapat saja ditafsirkan sekularisme kah, apalagi atheisme, tetapi validitasnya harus diuji dengan kebenaran pertama tadi.
− Ketiga, kebenaran cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagai tersurat dan tersirat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 seutuhnya juga, yang telah diakui dan dimufakati oleh MPR Republik Indonesia amandemen, tidak melakukan amandemen. Berarti itu utuh sejak Proklamasi sampai sekarang.
− Kenaran-kebenaran yang berlaku sebagai jabaran dari tiga kebenaran yang fundamenta, termasuk TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang larangan dikembangkannya, disebarkannya paham marxisme, komunisme, atheisme. Oleh karena itu, dengan memperhatikan kebenaran-kebenaran yang dimaksud, tetapi kita tidak menemukan dalam UU KKR, maka ahli digukan validitas dari UU KKR, apalagi kalau mengingat tujuannya adalah untuk rekonsiliasi, merukunkan kembali hal-hal yang telah terjadi di masa lampau. Kerukunan itu dapat mungkin terjadi kalau tujuan dari UU KKR juga tegas.
− Ahli juga menyaksikan dalam sejarah sosial politik ketatanegaraan kita, khususnya dengan ideologi nasional Pancasila. Kewajiban warga negara itu sebagai warga negara dari negara Pancasila ialah mutlak imperatif, setia membela Pancasila. Kalau mereka itu tidak setia, mereka bukan warga negara yang baik. Berbeda dengan warga negara yang setia, membela, mengamalkan, membudayakan. Hal demikian ini menjadi ukuran dari kesetiaan warga negara, karena logika civic hukum, pusat kesetiaan dan kebanggaan nasional setiap warga negara ialah kesetiaan dan kebanggaannya kepada dua hal, dasarnya negaranya atau ideologi negaranya dan UUD negaranya, ini berlaku universal. Misalnya saya beri contoh, di negara Uni Sovyet dulu, setiap warga negaranya, sadar atau tidak sadar, sukarela atau dipaksa, setia kepada ideologi komunisme. Kalau mereka tidak setia, mereka bisa mengambil jalan, minta
40
suaka politik ke luar negeri dengan tuduhan mereka itu membelot, menghianati negaranya dan mereka umumnya ditampung di negara liberal.
− Kalau di Indonesia, memang sejak pemberontakan-pemberontakan yang mereka lakukan, alhamdulillah, MPRS atas nama kedaulatan rakyat dan penjelmaan seluruh rakyat menetapkan bahwa mereka dilarang, sesungguhnya bukan hanya karena adanya pemberontakan dan kudeta, secara fundamentally intrinsically, mereka sesungguhnya tidak dapat sesuai dengan Pancasila, karena paham yang mereka anut, doktrin politik ideologi komunisme adalah marxisme, atheisme yang mempunyai elemen-elemen kolektivisme internasionalisme, etatisme, atheisme, bahkan totalitarianisme. Hal ini sama sekali secara kultural, apalagi secara konstitusional diametral, dengan tatanan budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
− Amanat itu bukan saja amanat konstitusional dan ideologis, tetapi ahli anggap amanat moral bangsa Indonesia, sesungguhnya secara kenegaraan dulu pernah diajarkan dalam buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Sehingga moral dan budaya politik Indonesia sesungguhnya adalah moral dan budaya politik Pancasila, karena itu juga ada predikat Demokrasi Pancasila, Ekonomi Pancasila.
Ahli berpendapat Undang-Undang KKR maksimal harus dibatalkan demi hukum dan demi filsafat negara Pancasila seutuhnya. Kalau misalnya direvisi, menambahkan kata Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum UUD 1945, ahli menganggap kalau begitu hanya pajangan, tidak fundamentally intrinsically, sebab hakikat dari pada tujuan KKR itu juga harus jelas.
− Pertama, yang akan rekonsiliasi itu siapa? Kalau borongan, total, ada kasus ini, kasus itu, dia tidak bisa, harus di-clearkan dulu. Sebab ada di antara golongan-golongan itu yang apriori secara ideologis tidak dapat direkonsiliasi sebelum mereka bersumpah, menyatakan kesetiaan tunggal kepada dasar negara dan ideologi negara Indonesia. Selama itu tidak terjadi, salaman itu hanya formalitas dan ini berbahaya ke depan. Bahaya ke depan itu patut diantisipasi bahwa mereka akan mengulangi, bahwa mereka memang melakukan perjuangan untuk merebut supremasi, ideologi mereka. Dengan kata lain juga, supremasi politik di Indonesia dan ini menjadi bencana di masa depan. Wajarlah umat beragama was-was, apalagi memperhatikan sejarah dunia,
41
sejarah mereka, bagaimana di berbagai belahan bumi ini melakukan coup, mengambil alih kekuasaan negara demi ideologi mereka. Dan kalau mereka berkuasa, mereka menindas, karena tadi etatisme dan totalitarianisme, atheisme. Mereka tidak saja merampas kekuasaan politik, tapi merampas keimanan kita, ketuhanan kita, na’udzubillah. Ini sangat berbahaya, wajarlah masyarakat yang membela Pancasila, khususnya umat beragama risau, was-was. Karena itu saya juga bersyukur ada kelompok yang memperjuangkan sebagai kelompok Pemohon ini.
− Ahli secara pribadi bertanggung jawab, social cultural scientific kepada masyarakat, tetapi lebih-lebih kepada Allah Yang Maha Kuasa sebagaimana alinea Pembukaan yang ketiga yang menyatakan, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, ini negara kalau kita sebagai penanggung jawab, elemen-elemen kelembagaan ini tidak menyelamatkan amanat itu, maka bukan saja di dunia ini kita tidak bertanggung jawab, barangkali di hadapan Allah kita juga dimintai tanggung jawab.
− Oleh karena Ahli memohon, totally-absolutely undang-undang ini dibatalkan demi kebenaran, kebenaran Pancasila, kebenaran UUD Proklamasi, yang di dalamnya kita hidup dan untuk masa depan kita merasa aman sejahtera. Di luar itu negara yang begini plural, kita akan konflik. Amandemen saja sudah menimbulkan berbagai konflik, karena tafsir yang masih kontroversial.
− Ahli beranggapan UUD 1945 dengan berbagai pasal, khususnya Pasal 28, yang diamandemen itu cukup lengkap untuk menjamin rekonsiliasi antar warga negara yang loyal pada Pancasila dan UUD 1945. Di luar itu tetap TAP MPRS Nomor XXV berlaku dan menurut paham saya TAP MPRS Nomor XXV tidak akan pernah dapat dicabut, karena MPR sekarang bukan MPR lembaga tertinggi, MPR sekarang hanya lembaga tinggi. Ibarat ini dia tidak menjangkau. Jadi TAP MPRS itu tetap sebagai MPR lembaga tertinggi. MPR yang sekarang dengan hormat ahli nyatakan menurut hukum tata negara amandemen, mereka hanya lembaga tinggi, sehingga kewenangan untuk mencabut itu tidak pernah ada lagi, kecuali kita kembali pra amandemen.
AHLI TAUFIK ISMAIL (Ahli dalam bidang Budayawan).
− Kenapa orang-orang eks PKI dipercaya dapat memimpin revolusi. Di dalam revolusi 1945 mereka tidak mempunyai peran yang signifikan dan kemudian
42
tiga kali mereka berontak, yang mereka sebut sebagai revolusi itu gagal semua sejak tahun 1926 sampai dengan tahun 1948, sampai dengan tahun 1965. Untuk itu kemudian ahli merasa berkewajiban untuk memberikan sebuah sorotan tentang sejarah komunisme yang secara internasional
− Mereka itu telah digariskan dalam sebuah strategi yang di dalam tiga dokumen, yaitu:
− Pertama, manifesto komunis yang ditulis oleh Marx dan Engels yang menyatakan di sana, ultimate goal itu adalah ”merebut kekuasaan dengan kekerasan”.
− Kedua adalah Zagladin, Zagladin dengan dua belas orang ideolog-ideolog di Moskow itu menulis sebuah buku yang judulnya, “Strategic and Tactics of Communist Movement” ini yang menjadi buku pegangan bagi mereka.
− Zagladin di sana menyatakan mengenai butir-butir, ada enam butir di sana. Itu petunjuk-petunjuk eksplisit dengan kata-kata yang jelas, yaitu the ultimate goal itu adalah perebutan kekuasaan dengan kekerasan apabila di suatu tempat partai komunis itu sedang mendapat musibah, sedang tengkurap masuk bawah tanah itu tetap menjadi objektif yang mereka harus capai pada suatu waktu, karena selalu ditanamkan kepada kader-kader mereka bahwa kekalahan itu adalah kemenangan yang tertunda. Dan ini diktum diturunkan kepada anak-anak usia 17 tahun sampai 20, hingga 30 tahun.
− Ketiga, jadi ada dua dokumen yang secara tertulis ada dan itu belum pernah dibatalkan oleh mereka walaupun partai-partai komunis di seluruh dunia kecuali di Kuba, Vietnam, RRC, dan Korea. Di tempat-tempat ini mereka, malah sebenarnya sudah tidak dapat disebut sebagai partai komunis, karena istilah tahun 50-an 60-an itu telah khianat. Mereka itu sudah tidak memegang marxisme dan leninisme dengan sebenarnya.
− Di Indonesia, PKI gagal tahun 1926 karena revolusi mereka tetapkan pada tahun 1926 itu diputuskan di Konferensi Prambanan kemudian dikirim meminta persetujuan Tan Malaka yang ada pada waktu itu di Manila. Itu petani-petani tidak ada sangkut pautnya dengan marxisme-leninisme mereka itu petani-petani Islam.
43
− Kedua, ketika tahun 1926 gagal, Muso melarikan diri ke Moskow dua puluh tahun dia di sana kemudian dikirim lagi oleh Stalin untuk melakukan pemberontakan Madiun tahun 1948, sudah lebih siap beberapa hari sebelum tanggal 18 September itu sudah disediakan lubang yang besar untuk kemudian pada hari itu dirazia orang-orang di sekolah-sekolah pesantren itu dibawa langsung, disembelih pada waktu itu. Muso ketika datang, menyelundup masuk melalui Bukittinggi sebagai sekretaris dari perwakilan kita di salah satu negara timur pada waktu itu dan langsung bertemu dengan kawannya indekost di AMS Surabaya yang menjadi Presiden. Muso dengan Bung Karno satu indekost di rumah HOS Cokroaminoto pada waktu itu. Kemudian kata Soekarno, “aarghh, bantu dong revolusi kita!”.
− Ketiga tentu saja PKI tidak mau lagi mengalami kegagalan seperti ini, mereka membuat skenario. Skenario itu seperti ketoprak yang sekarang ini sebenarnya tidak berlaku lagi. Itu menyebutkan bahwasanya ini masalah internal angkatan darat, betul skenario itu dibuat sedemikian rupa sehingga mereka cuci tangan. Dewan revolusi yang akan disambung dengan dewan revolusi tetapi itupun juga gagal. Ini akan dapat kita baca kalau kita melihat sejarah yang mereka lakukan. Kemudian masuklah sekarang ini setelah gagal total itu cuci tangan, mereka cuci tangan dan kemudian sekarang masuk kepada rekonsiliasi ini.
− Kemudian bermaaf-maafan tapi di belakang itu ada buntutnya, buntutnya Konpensasi kalau dengan cara seperti ini dengan kegigihan mereka itu Insya Allah sepuluh meter dari yaumil kiamah tidak akan selesai yang akan menyelesaikan adalah perdamaian total, dari perundingan perdamaian di Malaysia itu yang dua kali alot sekali, luar biasa alotnya tetapi akhirnya terjadi perdamaian total.
− Kemudian diadakan dua kali perundingan dengan jarak enam tahun yang sangat alot, tetapi pada perundingan yang kedua tercapai perdamaian total. Ahli ketika membaca proceeding itu ada tiga hukum:
1. Pengakuan Cheng Peng, My Side of History
2. Proceeding yang yang ditulis oleh Ratana Jaya seorang Kolonel angkatan darat itu.
3. Ada sebuah seminar di Australia dan kemudian Cheng Peng membuka jalannya perundingan dan saya merasa terharu.
44
− Petunjuk yang sangat jelas di dalam sehari-hari partai ini bergerak itu The end justify the means. Tujuan menghalalkan cara. Apa itu tujuan menghalalkan segala cara kalau menurut dokumen yang paling baru yaitu sembilan petunjuk mengenai partai komunis di RRC. Nah itu disebutkan di sana bahwasanya sembilan itu yaitu cara kejahatan menipu, menghasut, penjahat masyarakat, memata-matai, merampok, berkelahi, memusnahkan, dan mengontrol. Ini ditulis oleh para pelarian dari daratan Tiongkok, kalau di dalam partai komunis yang sejak tahun 1917 sampai belakangan ini, itu butir-butirnya adalah pertama berdusta, memutar balik fakta, memalsukan dokumen, memfitnah, memeras, menipu, menghasut, menyuap, intimidasi, bersikap keras, berkata kasar, mencaci maki, menyiksa, memperkosa, merusak, membunuh dan membantai. Di dalam hal ini maka yang masuk di dalam sejarah yang tidak dapat yaitu pembantaian 120 juta manusia di dalam waktu 74 tahun di seluruh dunia.
AHLI PROF. AMINUDDIN KASDI (Ahli dalam bidang Sejarah)
− Berdasarkan pengalaman sejarah nampaknya bagi kebangkitan komunis itu akan memiliki pola yang tidak terlalu jauh berbeda jadi apabila tahun 1948 mereka gagal, kemudian mereka juga berusaha menghilangkan jejak dengan membawa satu fitnah, yaitu bahwa peristiwa Madiun itu disebabkan oleh karena provokasi Hatta dan sudah barang tentu ini sangat tidak benar, bahkan Hatta pun sampai-sampai hati karena melaksanakan persetujuan Renville yang ditandatangani oleh Amir Syarifudin pada waktu menjabat perdana menteri, kemudian Hatta itu juga dicap atau dikatakan sebagai anjing Amerika penjual bangsa dan negara. Ini PKI padahal setelah peristiwa Madiun dapat ditumpas pada akhir bulan Oktober, kemudian tidak lebih dari tiga bulan pecah perang agresi yang kedua. Semua tahanan PKI yang belum sempat diadili dibebaskan dan lainnya juga kemudian melarikan diri dan setelah pengakuan kedaulatan mereka mengajukan permohonan kepada Hatta, yaitu PKI rehabilitasi di bawah pimpinan Yusuf dan Hatta meskipun pada waktu beliau menjabat perdana menteri tahun 1948 pernah diberontak tetapi tidak sakit hati dan berdasarkan putusan pemerintah pada tahun 1950 Hatta sebagai Perdana Menteri RIS merehabilitasi PKI. Tapi pada tahun 1953 Hatta sudah disumpah serapai oleh CC PKI dalam hal ini adalah D.N. Aidit bahwasanya peristiwa Madiun
45
diprovokasi oleh Hatta dan inipun kemudian juga dipakai lagi untuk menghilangkan jejak pada tahun 1965.
− Partai Komunis Indonesia mulai dari peristiwa aksi sepihak di Jengkol yaitu di perkebunan baru di daerah Pare kemudian juga aksi-aksi penyiksaan kepada Hamka terhadap tenggelamnya kapal Van Der Wijk yang menurut saya waktu itu adalah satu character assassination yang tidak pada tempatnya dilakukan oleh tokoh-tokoh intelektual, baik itu Lekra maupun PKI pada sastrawan Hamka. Kemudian juga setelah itu kami sekolah di Malang dan bertepatan dengan kami di Malang itu juga terjadi sejumlah peristiwa yang kami harus berpikir kritis, jadi misalnya peristiwa HMI. Jadi tuntutan membubarkan HMI di Jember tahun 1963 yang dikumandangkan oleh CGMI dan Utrek kemudian juga peristiwa Kanigoro 13 Januari 1965 bertepatan pada waktu itu adalah bulan puasa dan juga peristiwa aksi-aksi sepihak yang merajalela tahun 1963 sampai tahun 1965. Padi itu adalah menurut orang Jawa adalah Dewi Sri yang memberi makan orang Jawa. Kalau Dewi Sri itu dianiaya, dicabuti maka orang-orang itu nanti nyawanya itu dicabuti seperti itu dan tidak kurang dari satwal kemudian terjadi peristiwa G 30 S/PKI.
− Yang namanya JIL (Jaringan Islam Liberal) bahwasanya dengan dalih hak asasi manusia dan demokratisasi maka PKI punya hak hidup yang sama dengan yang lain, untuk membuat bibit-bibit perpecahan, yaitu dengan mengajarkan pada siswa, pada kurikulum 2004 yaitu adanya versi baru tentang G 30 S/PKI. Hal yang sekarang ini bertepatan dengan diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi dan contextual teaching and learning dimana pembelajaran itu seyogianya diambil dari sumber-sumber yang original, yang otentik. Karena siapapun tahu bahwa tahun 1948 itu PKI melakukan satu kudeta dan pelaku sejarahnya masih ada kemudian juga situs tempat bersejarah juga masih banyak dan betapa biadabnya mereka itu di Desa Soco itu ditanam di dalam satu sumur tidak kurang dari 134 jenazah dan kereta api yang dipakai untuk bawa korban itu juga masih ada termasuk ayahanda Kharis Suhud itu ada di sana, belum lagi yang ada di Guranggareng dan belum lagi hilangnya tujuh kiai di Tagelan Madiun pada tanggal 17 September.
− Pada waktu uji publik ada kelompok-kelompok tertentu yang memang menafikan atau meragukan keterlibatan PKI dan bahwasanya G 30 S/PKI tidak
46
lebih dari rekayasa Soeharto. dalam masalah ini saya dalam satu hal memang harus membela Soeharto tapi dalam hal ini berbeda, karena pada bulan November tahun 1965 di rumah tahanan Salemba itu akan diadakan upacara pelepasan bagi orang-orang yang ditangkap di pasar burung Jatinegara dua minggu sebelum itu, karena diduga mereka terlibat dalam G 30 S. Dari tokoh yang akan dilepaskan dihadiri atau diperiksa oleh petugas oditurat militer, yaitu Ali Said dengan Dormawel Ahmad pada waktu Nyono itu menuliskan nama aslinya kemudian diserahkan kepada petugas, mak gedebeg. Jadi apa dipegang ini yang dicari dan kemudian disampaikan pada Ali Said dan kemudian ditangkap dan diinterogasi. Tetapi waktu itu pimpinan pemerintah belum yakin karena itu masih keterangan pribadi. Untuk itulah kemudian pada bulan Desember tahun 1965 itu mendesak pada Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Penpres, yaitu tentang pembentukan Mahmilub. Dengan Penpres Nomor 370 diminta Mahmilub untuk mengadili mereka-mereka yang terlibat di dalam G 30 S itu. Baru pada akhir Januari, Mahkamah Militer itu bersidang dan ternyata dari keterangan Untung, Yono dan sebagainya, maka yang dibelakang itu adalah PKI dan oleh karena itu sejak itu kemudian di belakangnya ada embel-embelnya, G 30 S/PKI.
− Oleh karena itu sangat tidak benar bagaimana cara mereka untuk memprovokasi dan menjatuhkan, menjadikan kambing hitam. Jadi misalnya orde baru itu adanya sejak mulai tahun 1965 dan ini berarti memojokkan Soeharto.
− Para kelompok yang terlibat persengketaan dengan pemerintah, itu tidak ada yang menuntut kompensasi. Apakah itu PRRI, apakah itu DI/TII, kalah mereka ya kalah, ngakoni salah dan kemudian dalam bahasanya “bertobat”. Tapi ternyata setelah jaman reformasi, mantan eks Tapol dan Napol dan keturunannya melalui lebih kurang empat belas LSM, itu menuntut adanya rehabilitasi dan kompensasi. Hal ini nampak, yang pertama pada tahun yang lalu mereka melakukan suatu class action di pengadilan Jakarta Pusat. Kemudian juga setelah itu menuntut kepada lima orang Presiden.
− Kalau mereka itu direhabilitasi dan diberi kompensasi, maka logikanya mereka adalah benar, yang menumpas adalah salah. Kalau mereka benar, mereka berhak mendapatkan kompensasi dan mereka mendapatkan rehabilitasi, maka TAP MPRS itu juga salah dan keputusan Mahmilub itu juga salah, itu harus
47
dicabut dan Bapak nanti harus mengadili mereka yang menumpas PKI tahun 1965, apa Bapak siap begitu?”. Itu satu hal yang tidak mereka duga.
− Ahli berpendapat, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan, yaitu misalnya pada Pasal 1 ayat (1) tentang Kebenaran, kebenaran itu dinyatakan sebagai berikut: “Kebenaran adalah kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat, maupun waktu”. Persoalannya adalah yang dimaksud dengan kebenaran ini kebenaran yang menyebabkan mereka itu menjadi korban atau menderita? Atau kebenaran cara mereka mengungkapkan? Itu harus ditegaskan. Sebab kalau kebenarannya peristiwa G 30 S itu adalah masalah keilmuwan dan itu dapat diperdebatkan. Tetapi kalau kebenaran mengenai masalah mereka ditumpas, itu adalah sangat subjektif, dari mana mereka melihatnya?
− Oleh karena itu kalau ini tidak ada ketegasan, ini maka ibaratnya adalah pendulum yang bisa bergerak ke kanan dan ke kiri, yang bisa memukul siapa saja. Kalau ini kebenaran sejarah, ada prinsip-prinsip kebenaran sejarah. Kalau mereka mengakui bahwa tahun 1965 itu mereka benar, maka kebenaran itu juga tidak hanya berasal dari pihak mereka sendiri, tetapi juga harus dari pihak mereka yang pernah berseberangan. Misalnya Nasution, Harry Tjan Silalahi, Marsilam Simanjuntak dll, tetapi karya-karya mereka tidak pernah memakai referensi ini, jadi hanya sepihak dan ini di dalam sejarah disebut dengan personal bias, berat sebelah, pribadi, ini tidak adil.
− Kemudian yang kedua mengenai masalah korban, siapa yang jadi korban? Kita harus tahu kontekstual, peristiwa itu terjadi, mengapa? Kalau kita ingat tahun 1965, waktu itu adalah situasi revolusioner, bahkan untuk merevolusi diangkat pemimpin besar revolusi, siapa yang tidak tahu, semuanya tahu. Dan ini juga digembar-gemborkan oleh mereka.
− Oleh karena itu kalau itu dikatakan sebagai korban, nanti dulu, karena apa? Karena ada dua pihak yang berselisih, apalagi PKI menggunakan jargon kawan dan lawan. Kawan Aidit, kawan Nyoto, Natsir musuh bebuyutan, Ahmad Dahlan lawan, Chairul Saleh juga lawan. Jadi ada pertentangan yang diametra.
− Oleh karena itu permohonan kami jadi atas dasar apa yang ahli katakan tadi, maka hendaklah ditinjau kembali UU KKR. Jadi, kalau masalah politik diubah
48
menjadi masalah hukum, kemudian dari masalah politik diubah manjadi masalah individual, dan kemudian yang bersangkutan dituduh melakukan pelanggaran HAM berat, kalau ini terjadi, akan tidak mustahil akan terjadi suatu konflik horisontal dan itu akan, mengurai luka lama, rekonsiliasi sudah pernah berjalan dan masyarakat tidak mengotak–atik
SAKSI MASRUL SIHAB:
− Jawa Tengah adalah kota dimana jumlah anggota PKI-nya banyak, insya Allah itu benar. Saksi mendapatkan informasi dari Kesbanglimas untuk wilayah Wonosobo eks Tapol/Napol Pulau Buru sekitar 5400 sekian. Dari lima ribu yang aktif saya pantau sekitar tiga puluh orang dan itu super aktif. Kemudian Boyolali 19.000, kemudian Solo dan Klaten sekitar 20.000.
− Undang-Undang KKR itu ada korelasinya dengan kemungkinan bangkitnya neo komunis atau tidak? Kalau saya yakin ada, karena pada tanggal 16 November 2000 di Wonosobo terjadi penggalian makam yang dikira itu adalah makam korban PKI. Pada awalnya masyarakat Wonosobo tidak tahu, dua hari setelah itu berjalan masyarakat Wonosobo tahu dan lebih tercengang lagi bupati memainkan izin sepihak tanpa koordinasi dengan Muspida dan tokoh-tokoh setempat.
− Di Wonosobo ketika penggalian itu terjadi salah satu tokoh pemuda rakyat pada waktu itu mengatakan bahwa penggalian harus terjadi, karena ini adalah tiket serta rekonsiliasi yang nanti akan digembar gemborkan Gus Dur itu adalah alat, waktu itu saya mendengar. Selanjutnya lebih terkejut lagi satu tahun kemudian kita bisa mendapatkan penggalian mayat-mayat yang dikira itu adalah PKI, ternyata sekarang gencar digunakan oleh Karmel Budiharjo sebagai alat politik komp intern.
− Yang ke dua, masyarakat di daerah sangat resah terutama masyarakat pesantren kyai-kyai yang sekarang alhamdulillah semakin sadar dan lima ratus yang ada di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur sampai mengajukan kepada Mabes Polri tentang tingkah lakunya Gus Dur yang sampai sekarang tidak berkomunikasi aktif sebagaimana masa yang lalu, karena diresahkan satu statement Gus Dur dengan salah satu orang tokoh putra proklamator yang waktu itu dipanggil oleh PKI.
49
− Yang nomor tiga, beredarnya kaos-kaos yang bergambar palu arit celana yang dijual oleh Chaidir, anak SMP Jakarta kemudian beberapa poster bendera dan lain sebagainya.
SAKSI DARI PEMOHON : ZAINI
− Saksi adalah sebagai korban keganasan PKI, tanggal 17 Oktober 1965. Pukul 23.00 malam dibacok oleh PKI. bukti kalau saya merem, ini yang satu merem yang satu tidak, karena itu saya pakai kacamata terus. Hal yang kedua bisa dilihat kuping saya yang kiri dengan yang kanan ini tidak sama karena akibat kebiadaban daripada mereka, di sini dibacok, maaf di sini kuping dulu begini Pak, sehingga akhirnya kenapa ditutup lagi akhirnya dijahit. jadi akibat kebiadaban itu saya merasakan cacat seumur hidup.
− Dengan adanya Undang-Undang KKR ini nanti kalau itu terjadi saya hanya khawatir kalau peristiwa tiga puluh empat tahun yang lalu terulang kembali, alangkah sengsaranya bagi anak-anak cucu kita nantinya.
− Peristiwa awalnya ada pertemuan di desa, yang dihadiri oleh tokoh-tokoh partai PKI. Di dalam isi pertemuan itu, isinya mendamaikan di antara satu sama lain yang tidak terpengaruh oleh kejadiaan yang ada di Jakarta dalam arti desa Kembiritan dan Pandan itu dijaga bersama sama. Tapi setelah itu malamnya /minggu pukul 11.00 malam dengan keadaan yang mendadak terjadilah penyerbuan di kampung kami, terdengarlah suara orang berteriak siap, siap, siap sehingga dengan mendadak kami kaget, setelah kaget tiba-tiba dari utara arah utara itu ada sente/baterei itu banyak. Pak haji dan saya bingung siapa? Setelah ditanya siapa? “Kawan sendiri dari Genteng” tapi dia bicara semacam itu tapi samurai yang sudah main ini semua. Sehingga terjadilah Pak Haji Muslih (alm) ini, separuh tangannya putus. Sehingga pukul 11.00 Pak Haji lari itu menuju desa Kembiritan itu pukul 11.00 berangkat sampai Kembiritan itu pukul 05.00 pagi karena apa? Karena banyaknya keluar darah sehingga lima meter berhenti, lima meter berhenti, lima meter berhenti sehingga sampai di kimiritan itu pukul 05.00 pagi, sehingga akhirnya ada kontak hubungan dengan aparat kepolisian pada saat itu, cerita keganasan kelompok PKI.
− Inilah kejadian-kejadian yang saya alami pada saat itu, sehingga sampai sekarang ini pun penderitaan ituyang saya alami luwih nelangsa, iku luwih nemen, dan luwih prihatin. Kalaupun toh itu nanti bangkit kembali saya khawatir
50
nanti kalau kejadian-kejadian itu terulang kembali. Oleh sebab itu apa yang saya sampaikan kejadian ini dengan keadaan yang sama betulnya dan tidak ada ikatan.
SAKSI H. FIROZ FAUZAN
− Bagi golongan wajib lapor yang jumlahnya hampir satu juta itu sudah keluar, C 1,2,3 juga sudah keluar sekitar 500 ribu itu semua sudah keluar sebelum tahun 1972, kemudiaan yang golongan B 1,B2 itu sekitar 33, 34 ribuan. Di Pulau Buru sekitar 10 ribu itu juga sudah keluar, berikutnya yang golongan semua yang sudah keluar, sampai yang dihukum mati keluar. Mendagri setelah menerima dari Kopkamtib dengan R 75, kemudian ada instruksi dari Mendagri tahun 1981 Nomor 32, bagaimana pembinaan dan pengawasan terhadap yang sudah keluar semua. golongan A, golongan B, golongan C yang sudah kembali ke tempat asalnya dapat gangguan dari masyarakat sekitarnya. Jadi ini suatu bukti bahwa rekonsiliasi secara kultural sudah berjalan dengan baik.
− Yang jadi masalah adalah di dalam pengawasan, juknis Mendagri ini ada Lemhanas, Juknisnya Nomor 750 di sini persoalannya adalah hasil psikotes dari yang golongan B1, B2 yang jumlahnya 34 ribuan itu. Delapan puluh persen itu hardcore hanya 10-20 persen yang softcore, yang lunak.
− Bukan sekedar dicabut omongan Mendiknas minta kepada kejaksaan untuk mengusut dan sekarang sedang diproses yang mengubah-ubah sejarah. Sehingga apa yang dikatakan Putmuinah tidak ada kaitannya dengan Pasal 60 huruf G yang boleh pilih-pilih, tapi dia ngomong soal sejarah yang sebetulnya ini aparat di daerah harus tahu semua. Bahwa mengobrak-abrik itu sudah tidak relevan lagi.
− Yang terjadi terhadap pemutar balikan sejarah. Kemudian dibilang mereka yang katanya yang mungkin tidak terlibat akhirnya merasa selama beberapa presiden ini dia merasa dimarginalkan, didiskreditkan, dan macam-macam. Serta menuntut kepada keempat presiden mantan, dan satu presiden di Pengadilan Jakarta pusat.
− Bu Putmuinah ini ketua Gerwani Blitar, dia sampaikan kepada para mahasiswa dengan versi dia dimana dia tidak bersalah, kemudian banyak kegiatan sosialnya mulai dari Taman Kanak-Kanak Melati, dan sebagainya. Dia ungkap semua dan sebagian omongan Putmuinah di depan anak-anak, betul Bu
51
Putmuinah memang dia tidak terlibat G 30 S PKI, yang terlibat G 30 S PKI itu hanya kaitannya dengan Cakrabirawa dan yang datang ke Jakarta jumlahnya tidak sampai dua, tiga, atau empat ribu. Ini yang sudah diproses melalui tim hakim sebagai narapidana, tapi selama ini kita terkontaminasi dengan narapidana G 30 S/PKI yang cuma dua, tiga ribu diproses tim hakim Mahmilub, Mahkamah Militer Subversi, dan pengadilan lainnya. Tapi yang melalui tim khusus macam Undang-Undang KKR sekarang ini yang berlaku seperti KKR dulu namanya tim khusus itu melakukan tindakan administrasi, tindakan politik, dan tindakan disiplin.
− Bu Putmuinah tidak terlibat di dalam G 30 S/PKI, tapi dia terlibat di dalam substansi peristiwa 1965, bukan pengambilalihan pimpinan angkatan darat atau menculik Jendral. Tapi dekrit yang dibacakan nomor satu pembentukan dewan revolusi itu substansinya. Pengambilalihan kekuasaan pemerintah negara itu substansinya. Dia sudah mempersiapkan dewan revolusi sejak awal September, melalui baik Aidit sendiri. Kaitannya dengan kebangkitan-kebangkitan PKI sudah cukup jelas ancaman mendasar dan ancaman total, tapi karena kita dialihkan konsentrasi kepada ancaman internasional terorisme dan ancaman nasional separatisme. Sehingga kekhawatiran yang seharusnya muncul terhadap ancaman mendasar, kalau dulu Pancasila diperas-peras jadi eka sila tapi baru-baru ini sidang MPR pun diminta untuk bersidang tiap tahun ternyata amandemen satu, dua, tiga, empat jelas TAP MPR XXV mau dicabut.
Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulannya yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa tanggal 21 November 2006;
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala sesuatu yang tertera dalam Berita Acara Persidangan dianggap telah termasuk dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas.
52
Menimbang bahwa terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam perkara ini, yaitu:
1. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan yang diajukan oleh para Pemohon;
2. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo;
3. Pokok permohonan yang menyangkut konstitusionalitas undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon.
Terhadap ketiga hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
1. KEWENANGAN MAHKAMAH
Menimbang Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus tentang hasil pemilihan umum.” Ketentuan tersebut dimuat kembali dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK);
Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah mengenai Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4429, selanjutnya disebut UU KKR) terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan para Pemohon tersebut.
53
2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU MK, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Menimbang bahwa selain itu, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya, Mahkamah telah menentukan lima syarat mengenai kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) UU MK, sebagai berikut:
a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; dan
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Menimbang bahwa dalam menjawab persoalan apakah para Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian ini, maka harus
54
diperiksa (i) dalam kualifikasi apakah para Pemohon akan dikategorikan, dan (ii) hak konstitusional apa yang dimiliki dan dirugikan dengan berlakunya UU KKR;
• para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai pelaku sejarah melawan pengkhianatan Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) PKI dan sekaligus pegiat dan pengurus organisasi yang berkhidmat di dalam menangkal bangkitnya kembali organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme yang mempunyai kepentingan hukum dalam permohonan ini;
• para Pemohon berkeyakinan bahwa kehadiran UU KKR bukannya akan menyelesaikan dan menyembuhkan luka-luka lama yang pernah ditimbulkan oleh aksi sepihak PKI pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) PKI, akan tetapi justru akan membangkitkan kembali sentimen ideologi dan dendam antar anak bangsa yang selama ini sudah berusaha dihapuskan dari memori kolektif bangsa;
• para Pemohon mengalami peristiwa traumatik akibat tragedi berdarah pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan pengkhianatan G30S/PKI tahun 1965, saat ini sungguh-sungguh merasakan ketidakamanan dan muncul rasa ketakutan yang sangat beralasan yakni bangkitnya kembali ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme di tanah air akibat diberlakukannya UU a quo;
• para Pemohon menganggap hak konstitusional Pemohon sebagaimana tercantum di dalam Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya UU KKR;
Menimbang bahwa dengan diundangkannya UU KKR berarti diakui bahwa sebelum diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (selanjutnya disebut UU Pengadilan HAM) tanggal 23 November 2000, telah terjadi pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum jelas kapan dan di mana terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut, sehingga belum jelas pula siapa-siapa pelaku dan siapa-siapa yang menjadi korbannya. Oleh karenanya tidak menutup kemungkinan para Pemohon adalah korban atau malah justru dapat pula disangka sebagai pelakunya. Dengan demikian para Pemohon secara potensial menurut
55
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan mengalami kerugian hak konstitusional dengan berlakunya UU KKR. Atas dasar pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat, kalau sekiranya nanti ternyata peristiwa G30S/PKI seperti yang didalilkan oleh para Pemohon ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian terhadap undang-undang a quo;
3. POKOK PERMOHONAN
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan dalam permohonannya hal-hal yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) UU KKR secara objektif materi muatannya nyata-nyata mengandung cacat hukum yang mendasar atau prinsipiil. Undang-undang a quo tidak saja potensial menciptakan ketidakpastian hukum dan sulit mewujudkan rasa keadilan, namun lebih banyak mendatangkan mudharat ketimbang kemaslahatan bagi banyak orang. Karena, sangat potensial menimbulkan konflik di antara sesama anak bangsa yang pada akhirnya akan menjerumuskan bangsa ini ke jurang perpecahan dan kerusakan yang parah. Cacat hukum yang dikandung oleh UU KKR dapat dijumpai pada bagian konsiderans baik pada bagian Menimbang dan Mengingat yang ternyata hanya mencantumkan landasan sosiologis dan yuridis. Sedangkan landasan filosofis yaitu Pancasila ternyata tidak tercantum baik secara tegas maupun secara tersirat. Padahal Pancasila di Republik ini tidak saja memiliki makna strategis dan fundamental sebagai common denominator, sebagai way of life atau weltanschaung kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat bahkan lebih dari pada itu Pancasila sebagai asas hukum yang merupakan sumber nilai dan sumber hukum bagi pembentukan hukum. Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan, “Pancasila merupakan sumber dari segala hukum negara”. Oleh karena itu, patut dipertanyakan nilai-nilai atau norma-norma hukum apa yang dipakai sebagai basis atau pijakan pembentukan UU KKR.
UU KKR yang dimaksudkan sebagai instrumen extra judicial untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu, yang menurut para Pemohon termasuk di dalamnya peristiwa pemberontakan PKI yang
56
terjadi pada tahun 1948 dan 1965, justru tidak mencantumkan Pancasila sebagai acuan utama mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi;
2) Pasal 1 Angka 1 UU KKR menyebutkan, “kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat baik mengenai korban, tempat, maupun waktu”. Namun di dalam UU KKR tidak dijumpai pasal-pasal yang menjelaskan tetang ukuran atau norma kebenaran suatu peristiwa tersebut, apakah peristiwa pelanggaran HAM tersebut secara valid dan objektif benar-benar terjadi atau sekedar rekayasa semata. Jelasnya UU KKR tidak menjelaskan prosedural pembuktian dan alat-alat bukti apakah yang wajib digunakan oleh KKR dan para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Oleh karena itu validitas dan efektifitas konsep dan pembuktian kebenaran menurut UU KKR ini menjadi subjektif dan tidak terukur, sehingga UU KKR ini tidak mewujudkan kepastian hukum (legal certainty);
3) Pasal 1 Angka 2 UU KKR berbunyi, “hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa”. Menurut Pemohon konsep atau batasan pengertian rekonsiliasi yang digunakan oleh UU KKR sungguh absurd dan ahistoris. Pasal UU KKR secara sengaja telah mengonstruksi sejarah dan peristiwa pelanggaran HAM di masa lampau dengan sedemikian rupa sehingga seolah-olah seluruh peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau dan seluruh korban pelanggaran HAM adalah orang-orang yang tidak bersalah (innocence). Pemohon sangat menyangsikan mekanisme rekonsiliasi di dalam UU KKR ini bisa memenuhi aspek keadilan semua pihak serta dapat berlaku efektif;
4) Rumusan korban dalam Pasal 1 Angka 5 UU KKR yang berbunyi, “Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah juga ahli warisnya”. Menurut Pemohon perluasan subjek hukum
57
korban yang demikian ini sangat potensial untuk terjadinya distorsi dan manipulasi terhadap proses KKR itu sendiri. Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945.
Para Pemohon ingin menegaskan bahwa pada prinsipnya Pemohon tidak menolak rekonsiliasi yang dilakukan dengan jujur, adil, dan bermaslahat serta dikemas dengan mekanisme yang elegant dan fair.
Menimbang bahwa untuk memperkuat dalilnya, Pemohon telah mengajukan tiga orang saksi dan tiga orang ahli yang keterangan selengkapnya telah termuat dalam Duduk Perkara. Dalam keterangan ketiga orang Ahli tersebut, antara lain dinyatakan bahwa UU KKR bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, UU KKR dipandang tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan luka baru karena pengaturan yang terdapat di dalamnya justru berorientasi pada “audit dendam”. Padahal yang dibutuhkan adalah perdamaian total tanpa syarat;
Menimbang bahwa dalam memutus permohonan ini perlu melihat dan memperhatikan putusan perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 mengenai permohonan pengujian undang-undang yang sama terhadap UUD 1945;
Menimbang bahwa Mahkamah dalam pertimbangan hukum pada putusan perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 yang telah diputus sebelum ini, menyatakan dalam pertimbangannya, antara lain, “bahwa semua fakta dan keadaan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. Dengan memperhatikan pertimbangan yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti
58
Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang lebih serasi dengan UUD dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.”
Menimbang bahwa amar putusan Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 tersebut berbunyi, “Mengabulkan Permohonan Para Pemohon; Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya”.
Menimbang bahwa oleh karena undang-undang yang dimohonkan untuk diuji yaitu UU KKR telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat putusan mana memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang Pleno terbuka untuk umum (vide Pasal 47 UU MK), maka permohonan para Pemohon kehilangan objeknya (objectum litis), sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena undang-undang yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya sudah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Mengingat Pasal 47 dan Pasal 51 Ayat (1), serta Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
MENGADILI
- Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
59
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Senin, 4 Desember 2006, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini, Kamis, 7 Desember 2006, oleh kami Jimly Asshiddiqie selaku Ketua merangkap Anggota, H.A.S. Natabaya, Soedarsono, Harjono, H.M. Laica Marzuki, I Dewa Gede Palguna, Abdul Mukthie Fadjar, serta H. Achmad Roestandi, Maruarar Siahaan, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Alfius Ngatrin sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasa Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pemerintah atau yang mewakili.
KETUA
TTD.
Jimly Asshiddiqie.
ANGGOTA-ANGGOTA
TTD. TTD.
H.A.S Natabaya. Harjono.
TTD. TTD.
Soedarsono. H. M Laica Marzuki.
TTD. TTD.
Abdul Mukthie Fadjar. I Dewa Gede Palguna.
TTD. TTD.
H. Achmad Roestandi. Maruarar Siahaan.
PANITERA PENGGANTI
TTD.
60
Alfius Ngatrin.

0 comments:

Post a Comment

SILAHKAN MENGISI SARAN, KRITIK KOMENTAR ANDA :)