NAVIGATOR:    | HOME   | INFORMASI HUKUM |   | NEGARA |   | PERUNDANGAN |   | KAMUS HUKUM


Tuesday, April 7, 2009

KECELAKAAN LALULINTAS

Kepada Bapak/Ibu Pengasuh Konsultasi Hukum UMM, Saya ingin meminta tolong nasehat dan bimbingan nya untuk masalah yang sedang saya hadapi sekarang. Pada tanggal 26 Maret 2009 pukul 06.30 Wib terjadi kecelakaan lalulintas di perempatan jalan antara sepeda motor Nopol AG XXXX P dengan Nopol AG XXXXX SD yang mengakibatkan salah satu pengendara sepeda motor tersebut meninggal dunia. Berikut ini kronologinya : Pada perempatan jalan lampu trafiglight menyala merah, pengendara A berboncengan dengan istrinya, kemudian lampu menyala hijau dengan pelan2 pengendara tersebut jalan, tanpa disangka dari arah belakang samping kanan setang motor B menyenggol badan pengendara A akhirnya terjatuh dan istrinya terpelanting beberapa meter dari jalan, kemudian istri A dibawa ke Rumah sakit dalam keadaan kritis, dan sempat di rawat di rumah sakit, pada pukul 10.00 Wib RS merujuk ke RS kediri, namun sampai tengah perjalanan korban sudah tidak tertolong lagi karena mengalami pendarahan pada kepalanya. Pada saat itu pelaku juga turut serta mengantarka kerumah sakit, dan melaporkan diri pada lakalantas setepat. Yang saya tanyakan : 1. Siapa dalam hal ini yang bersalah ? 2. Bagaimana pertangungjawaban pelaku terhadap pihak korban ? Jawaban : JAWAB : 1) UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan menyatakan sebagai berikut : Pasal 27 : (1) Pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas, wajib: a. menghentikan kendaraan; b. menolong orang yang menjadi korban kecelakaan; c. melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat. (2) Apabila pengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b, kepadanya tetap diwajibkan segera melaporkan diri kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat. Pasal 28: Pengemudi kendaraan bermotor bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga, yang timbul karena kelalaian atau kesalahan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan bermotor. Pasal 29 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak berlaku dalam hal: a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan; b. disebabkan perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan. Atas dasar pasal -pasal tersebut, apakah ketika teman anda menabrak, ia telah melaporkan kejadian tersebut ke Polisi ? Jika tidak melapor tentunya kita tidak dapat memposisikan siapa yang salah atau siapa yang benar mengingat untuk itu harus dilakukan penyidikan terlebih dahulu oleh pihak yang berwenang. 2) Pasal 1367 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut : "seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya ...dst ... majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya" Atas pengertian pasal tersebut pada dasarnya memang anda harus ikut bertanggung jawab mengingat si pelaku adalah orang yang bekerja untuk anda. 3) Saran saya sebaiknya dilakukan musyawarah untuk mufakat dengan tidak bermaksud untuk meremehkan apa dan siapa, ini tho kecelakaan yang artinya musibah. Ketika musibah terjadi tidak patut untuk mempertanyakan siapa yang salah atau yang benar. Kondisi yang memungkinkan untuk musibah andalah menyikapi bahwa para pihak turut andil dalam terjadinya musibah. ...Teruskan baca.."KECELAKAAN LALULINTAS"

Friday, January 23, 2009

ANOMALI YURISPRUDENSI PUTUSAN BEBAS

Oleh: SUMALI, SH.MH
Advokat dan Dosen Pengajar UMM

Diangsurkannya permohonan kasasi oleh JPU kepada Mahkamah Agung (MA) melalui PN Jakarta Selatan pasca putusan bebas terhadap Muhdi Pr, tak pelak telah mengundang kontroversi di kalangan ahli hukum di negeri ini. Pasalnya, KUHAP sendiri secara lugas menyatakan bahwa terhadap putusan bebas (vrijspraak) tidak boleh dikasasi. Begitu juga pada bagian penjelasan Pasal 244 KUHAP dikatakan sudah jelas. Lantas mengapa jaksa tetap nekad mengajukan permohonan kasasinya itu ke Mahkamah Agung (MA)? Apakah jaksa memiliki argument hukum yang lebih valid dan obyektif untuk mengabaikan ketentuan undang-undang (KUHAP)? Apakah MA akan menerima permohonan kasasi jaksa tersebut? Adakah implikasi hukumnya bagi penegakan sistim peradilan pidana dan mekanisme sistim checks and balance? Ikhwal diafirmasinya upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas tidak lain disandarkan kepada asas hukum yang mendalilkan bahwa peraturan yang tidak adil tidak perlu dipatuhi (ius contra legem). Selanjutnya secara definitif asas tersebut dipositifkan di dalam Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03. Tahun 1983 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, yang menyatakan bahwa atas alasan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Bak gayung bersambut, selang lima hari pasca terbitnya regulasi Kepmenkeh tersebut, MA melahirkan yurisprudensi yang mengabulkan pemeriksaan kasasi terhadap putusan bebas terdakwa Natalegawa yang diajukan jaksa, melalui putusan MA Reg. No. 275/K/Pid/1983. Adapun legal reasoning yang digunakan MA untuk menjustifikasi kasasi terhadap putusan bebas, antara lain: pertama, asas ius contra legem; dan, kedua, konsepsi putusan bebas yang dibedakan atas bebas murni (vrijspraak) dan bebas tidak murni (verkapte vrijspraak). Menurut MA, indikator putusan vrijspraak yakni jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah. Sementara itu yang dimaksud dengan nomenklatur verkapte vrijspraak atau bebas tidak murni indikatornya yaitu: (i) jika putusan bebas itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan; (ii) jika dalam menjatuhkan putusan, pengadilan telah melampaui wewenangnya di ranah kompetensi absolut maupun relatif, serta memberikan pertimbangan yang bersifat non juridis. Terhadap katagori bebas tidak murni inilah kasasi wajib untuk diperiksa. (Yahya Harahap, 1985, 543-546) Kendati sistim hukum di Indonesia tidak menganut prinsip jurisprudensi mengikat (binding jurisprudence act atau stare decisis),namun dalam perkembangannya yurisprudensi yang dinisbahkan oleh MA, mengenal nomenklatur yurisprudensi tetap, yakni yurisprudensi yang wajib diikuti oleh hakim yang kemudian, sebab telah dirujuk berulang-ulang dan penerapannya berlangsung efektif. Dalam konteks yag demikian ini, yurisprudensi tentang kasasi atas putusan bebas merupakan salah satu yurisprudensi yang dikatagorikan yurisprudensi tetap. Hal ini dibuktikan dari berulangkalinya MA memeriksa kasasi terhadap putusan bebas, misalnya terhadap kasus-kasus: Natalegawa, Newmont, Korupsi Hilton dll. Jurisprudensi Inskonstitusional Bepijak dari riwayat kelahiran dan penerapan yurisprudensi kasasi terhadap putusan bebas oleh institusi MA selama ini, maka tak pelak pengajuan kasasi oleh JPU Cyrus Sinaga terhadap putusan bebas Muhdi Pr adalah benar adanya. Selanjutnya Jaksa tinggal membuktikan putusan bebas Muhdi Pr adalah putusan bebas tidak murni (verkopte vrijspraak). Namun persoalannya adalah sesederhana itu, di dalam era reformasi hukum yang berobsesi untuk mewujudkan paradigma negara hukum yang demokratis dengan bersendikan prinsip trias politika beserta derivasinya yakni prinsip cheks and balances, maka legalitas yurisprudensi tetap sebagai dasar pijakan untuk mengenyampingkan produk hukum undang-undang (KUHAP) patut dipertanyakan validitasnya. Pada masa lalu ijtihad atau rechtvinding yang dilakukan oleh MA melalui instrumen yurisprudensi untuk mengisi kevakuman hukum bahkan kerapkali menganulir materi peraturan setingkat undang-undang berdasar dalil ius contra legem memang dapat dimaklumi. Pasalnya, sistem hukum ketatanegaraan kita sebelum era reformasi tidak mengenal pranata uji materi (judicial review/ toetsingrecht) terhadap peraturan setingkat UU. Instrumen review itupun kalau ada baru sebatas kepada peraturan di bawah UU, dan yang memiliki otoritas untuk melakukannya tidak lain adalah MA. Oleh karena itu wajar jika kemudian MA tidak saja berperan sekedar corong UU belaka, melainkan berinisiatif untuk melakukan temuan dan terobosan hukum melalui keputusan-keputusannya di pengadilan (judge made law). Namun saat ini legal reasoning yang digunakan untuk menjustifikasi yurisprudensi MA atas dasar ius contra legem dapat mengabaikan UU, jelas sudah tidak relevan lagi bahkan inskonstitusional. Sebab menurut konstitusi, UU hanya dapat dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan bukannya oleh MA. Hal demikian ini sejalan dengan semangat era reformasi hukum yang salah satu misinya adalah konsolidasi sistim ketatanegaraan dan validasi regulasi melalui amandemen UUD 1945. Melalui perubahan jilid ketiga, MK didaulat sebagai lembaga yang memuncaki kekuasaan kehakiman bersama dengan MA. Selain itu MK dibekali sejumlah kewenangan yang tidak dimiliki MA, namun mengenai kewenangan untuk melakukanjudicial review, kedua lembaga tinggi hukum itu sama-sama memilikinya. Bedanya, MK berwenang menguji produk hukum UU, sementara itu MA diberi kewenangan untuk menguji peraturan di bawah UU. Berdasarkan konfigurasi hukum yang demikian ini, seharusnya sejak diamandemennya UUD 1945 yang ketiga pada tahun 2003, sudah tidak ada lagi yurisprudensi yang menabrak UU. Selanjutnya jika merujuk kepada esensi mekanisme sistem checks and balance, maka eksistensi yurisprudensi tetap yang digunakan untuk mengontrol produk hukum cabang kekuasaan selain yudikatif, sangatlah tidak fair. Oleh karena substansi mekanisme checks and balance adalah tersedianya akses untuk saling mengontrol di antara cabang-cabang kekuasaan yang ada. Jika legislatif menelurkan produk undang-undang, maka kekuasaan yudikatif lah yang akan mengontrolnya melalui judicial review di MK. Begitu juga halnya dengan eksekutif yang dalam keadaan emergency dilegalkan menerbitkan UU darurat atau Perpu, maka yang mengontrol Perpu tersebut adalah legislatif. Namun tidak demikian halnya dengan yurisprudensi tetap yang esensinya merupakan produk hukum yang berkarakter regeling dan bersifat mengikat, maka terhadap produk hukum yudikatif ini tidak ada peluang sedikitpun bagi cabang kekuasaan lain untuk mengontrolnya. Lebih-lebih lagi jika yurisprudensi yang dihasilkan oleh MA ini jelas-jelas melabrak UU, maka tak pelak lembaga yudikatif menjadi lembaga super body di antara eksekutif dan legislatif. Hal demikian ini jelas telah mencederai sistim hukum dan ketatanegaraan yang dibangun dengan susah payah lewat amandemen konstitusi. Bahkan lebih jauh, keberadaan yurisprudensi yang berseberangan dengan UU haruslah dengan sendirinya batal demi hukum (null and avoid) beriringan dengan lahirnya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dengan tegas tidak mengenal nomenklatur yurisprudensi di dalam konfigurasi hirarki perundang-undangan. Materi muatan undang-undang aquo semakin meneguhkan konstatasi bahwa kedudukan yurisprudensi hanyalah sebatas asesori hukum yang bersifat komplementer dan bukannya elementer. Melalui Undang-undang aquo yurisprudensi dikembalikan kepada habitatnya yang orisinal yakni sebagai sumber hukum manakala undang-undang tidak atau belum mengaturnya (rechtsvacuum), dan bukannya sebagai penganulir undang-undang. Kado Ketua MA Baru Seiring dengan terpilihnya ketua MA yang baru, maka menjadi menarik untuk menunggu dan melihat reaksi dan sikap ketua MA terhadap kasasi yang diajukan oleh JPU terhadap putusan bebas Muhdi Pr. Ditengah hiruk pikuk tekanan publik dan mass media yang mengharapkan terkuaknya labirin pembunuhan Munir melalui instrumen peradilan. Beranikah ketua MA tidak menerima kasasi yang diajukan JPU tersebut (niet onvantkelijke verklaard) dengan dalih bahwa KUHAP jelas-jelas mengatur pengecualian kasasi terhadap putusan bebas, dan sekaligus mengatakan bahwa yurisprudensi tetap No. 275/K/Pid/1983 yang selama ini dijadikan acuan, adalah bertentangan dengan konstitusi. Jika sikap demikian yang ditempuh dan diikuti tindakan menganulir yurisprudensi tetap aquo, maka posisi MA jelas lebih fair, proper and wisdom. Akan tetapi jika memutuskan yang sebaliknya, yakni menerima pengajuan kasasi tersebut. Maka sejumlah implikasi hukum telah menghadang MA, yakni: Pertama MA jelas telah bertindak inskonstitusional, yakni telah melakukan perbuatan hukum yang melampaui kewenangan dan atau bertindak sewenang-wenang (detournement de povoir atau willekeur). Konsekuensinya, produk hukum MA berupa yurisprudensi yang melanggar UU harus dapat diajukan review lewat MA, bahkan lewat peradilan TUN. Ketiadaan regulasi yang mengatur hal yang demikian ini bukan berarti tidak boleh, pasalnya UU pokok Kehakiman menegaskan, hakim dilarang menolak perkara dengan dalih belum ada peraturannya. Sementara itu di lain sisi, pengajuan judicial review terhadap yurisprudensi melalui MA. Sulit membayangkan terjadinya peradilan yang fair dan impartial ketika MA harus menguji produk hukum yang dibuatnya sendiri. Jika yang demikian ini terjadi, maka sungguh ironi MA sebagai pemuncak kekuasaan kehakiman justru menciptakan anomali hukumnya sendiri; Kedua, Anomali hukum yang terjadi akan semakin memperburuk citra dan kinerja MA itu sendiri yang selama ini terkesan konservatif dan arogan, simak saja resistensi masyarakat terhadap perpanjangan usia hakim agung dan juga kukuhnya sikap MA yan tidak mau diaudit oleh BPK; Ketiga, secara langsung maupun tidak langsung MA ikut memberi kontribusi terhadap rusaknya sistim peradilan pidana dan juga sistim ketatanegaraan yang mengedepankan mekanisme cheks and balance. Selain itu perlu diingat, bahwa salah satu faktor penyebab buruknya kinerja peradilan di Indonesia adalah ketidak pastian hukum (uncertainty) yakni hukum tidak dapat diprediksi larinya mau kemana, ganti kepala ganti interpretasi. Oleh karena itu jangan persalahkan maraknya mafia peradilan dan ketidak patuhan hukum di kalangan aparat hukum terhadap sistim peradilan di Indonesia yang sulit ditebak, tidak akuntabel serta tidak transpran itu. Jangan pula dipersalahkan jika banyak orang menyebut KUHP sebagai akronim dari “kasih uang habis perkara, kurang uang hukuman penjara”. Ilustrasi yang buram itu tentu saja tidak kita harapkan terjadi pada awal terpilihnya ketua MA yang baru. Justru inilah momen penting yang harus dilakukan oleh MA untuk menunjukkan independensi dan imparsialitas melalui aktivitas pembenahan dan pemberdayaan institusi peradilan yang paling puncak. Keberanian bersikap tegas untuk mengatakan tidak atau menolak terhadap perkara-perkara hukum yang sejatinya sudah jelas regulasinya dan tidak perlu interpretasi lagi melalui instrumen yurisprudensi tetap, tidak saja sesuai dengan kedudukan yurisprudensi itu sendiri, tetap juga segendang dan sepenarian dengan ruh reformasi hukum dan sistim ketatanegaraan di cabang-cabang kekuasaan lainnya itu. Sejalan itu pula, MA juga perlu melakukan langkah elegan dan taktis untuk menginventarisir dan sekaligus me review produk hukumnya sendiri berupa yurisprudensi tetap, agar sejalan dengan produk hukum lain dan tidak menimbulkan anomali hukum dan sistim peradilan. Langkah semacam ini pernah pula dilakukan oleh MPR yang mereview produk hukumnya berupa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR. Begitu pula halnya dengan pihak JPU yang sudah terlanjur mengajukan kasasi ke MA terhadap putusan bebas Muhdi Pr, adalah suatu tindakan terpuji dan terhormat apabila pengajuan kasasi tersebut dibarengi pula dengan pengajuan judicial review ke MK terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP yang tidak mengenal katagori putusan bebas murni (vrijspraak) ataupun putusan bebas tidak murni (verkopte vrijspraak). Jika hal demikian ini dilakukan, sungguh elok dan cantik nian sistim hukum kita yang dibangun dengan semangat kesatria dan profesionalisme. Suatu hari kelak, anak cucu kita akan menjawab pertanyaan: “kalau sudah besar kamu ingin jadi apa?, tukasnya tegas “mau jadi professional hukum! Allahu bissawab. Malang, 17 Januari 2009 ...Teruskan baca.."ANOMALI YURISPRUDENSI PUTUSAN BEBAS"

Friday, January 9, 2009

Penipuan dalam Transaksi Pembayaran Dengan Mencicil


Mohon kepada pengunjung
untuk memberikan komentar
kepada kami, melalui
kotak komentar dibawah ini
terima kasih

Dengan hormat, Saya ingin menanyakan masalah saya, saya merasa telah ditipu oleh customer saya. Sejak 2 bulan ini saya telah beberapa kali menjual product ke customer saya, dan dia selalu melunasinya. Sampai pada saat transaksi terakhir, dia tidak mau membayar tagihan terakhir saya ke dia. Tidak ada alasan apapun, ataupun itikad baik dari dia untuk menyicil tagihan tersebut. Saya telah melaporkan kasus ini ke polisi, tetapi polisi mengatakan bahwa ini tidak bisa dibilang penipuan, karena dia sebelumnya sudah ada transaksi dan sudah ada pembayaran. sehingga ini akan menjadi kasus perdata.Kalau memang demikian, berarti dia bisa saja menipu siapa saja dengan cara melakukan transaksi 1 atau 2 kali terlebih dahulu,
melakukan pembayaran, kemudian pada transaksi ke -3 dia bisa dengan bebas mengatakan bahwa dia tidak mau membayar lagi.Menurut bapak, apa yang harus saya lakukan, dan apakah ada perlindungan hukum bagi kami ? terima kasih imanuel

JAWAB : Secara hukum, memang mengkualifikasikan perbuatan hukum pidana dan perdata sangat sulit karena tergantung pada pembuktian tentang perbuatan itu sendiri. Namun demikian, putusan untuk menyatakan bahwa apakah perbuatan melawan hukum itu, pidana atau perdata hanyalah hakim yang berhak memutuskan. BUKAN KEPOLISIAN.
Dalam hal kasus anda dimana si pembeli telah melakukan transaksi mencicil sekilas memang telah menghilangkan unsur penipuannya namun demikian seharusnya anda tidak melaporkannya semata-mata telah melakukan penipuan (Pasal 378 KUHPidana). Dalam kasus anda tersebut anda juga dapat melaporkannya telah melanggar Pasal 379a KUHPidana. Pasal 379a KUHPidana menyatakan sebagai berikut, "barangsiapa membuat pencahariannya atau kebiasaannya membeli baran-barag dengan maksud supaya ia sendiri atau orang lain mendapat barang-barang itu dengan tidak melunaskan sama sekali pembayarannya, dihukum penjara selama-lama 4 Tahun". Jadi, agar hak-hak anda tidak dilanggar lebih jauh oleh si pembeli tersebut sebaiknya anda kembali membuat laporan polisi. Jika si Polisi masih menolak laporan, anda sebagai warga masyarakat dapat mengingatkan bahwa tugas pokok kepolisian yakni untuk menerima dan menyelidik suatu laporan masyarakat dan Polisi tidak memiliki kewenangan untuk menolak laporan tersebut. ...Teruskan baca.."Penipuan dalam Transaksi Pembayaran Dengan Mencicil"

TERKENA PHK SEPIHAK

“ Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi acap kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita “.

Akhir bulan desember 2008 lalu tiba-tiba saja saya di beritahu kalau saya di berhentikan per akhir januari 2009. Sebagai kompensasi saya mendapat 9 bulan upah dan penghargaan 3x gaji. Saya sudah bekerja selama 9 tahun. Menurut atasan saya ini adalah perintah dari direksi, namun saya dilarang menanyakan ini kepada direksi. Kesalahan yang dituduhkan kepada saya, saya di anggap tidak bisa menyelesaiakan sistem komputerisasi di perusahaan. Padahal sistem itu memang hanya di selesaikan 80% saja karena atasan saya dan lagi lagi atas nama direksi menyetop proyek itu.
Setelah proyek itu di stop tidak ada review maupun evaluasi apapun dari pihak atasan maupun direksi. Dua tahun sudah sistem yang 80% itu berjalan, tiba -tiba saya di vonis PHK, atas ketidakselesaian tersebut. Keputusan itu di buat setelah direksi menerima laporan sepihak dari para staf pelaksana. Dan saya tidak pernah diundang untuk klarifikasi. Jelas ini tidak fair. Saya tidak di kasih kesempatan untuk membela diri. Berdasar kasus di atas apakah saya harus menerima PHK yang putuskan direksi tanpa perundingan dulu. Dan berhakkah saya menuntut kompensasi lebih besar dari Kepmen jika saya mau menerima PHK tersebut.
JAWAB : Terima kasih telah menghubungi saya .... Pasal 151 UU Ketenagakerjaan menyatakan sebagai berikut : (1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. (2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benarbenar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Berdasarkan Pasal 151 di atas, jelas dan tegas dalam hal terjadinya PHK, karyawan memiliki hak untuk mendengar alasan perusahaan dalam PHK tersebut dan didengarkan alasan-alasan si karyawan untuk itulah kedua belah pihak membicarakan terlebih dahulu tentang pemutusan hubungan kerja dimaksud. Kalaupun Perusahaan tidak puas dengan kinerja anda dan ingin menyampingkan ketentuan adanya perundingan dengan pekerja tentang PHK, maka yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah melakukan skorsing terhadap si karyawan tersebut. Bukan langsung PHK. Kembali pada PHK tanpa perundingan yang dialami anda, sesungguhnya PHK tersebut batal demi hukum. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 170 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, "Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima". Jadi, jawaban atas permasalahan anda tersebut adalah Anda selaku pekerja tidak wajib/ tidak harus menerima PHK yang dilakukan tanpa perundingan. Anda juga berhak menerima kompensasi yang lebih besar ...Teruskan baca.."TERKENA PHK SEPIHAK"

PEMBATALAN SEPIHAK DALAM JUAL BELI

Cinta membuat kita bergairah dalam hidup ..apa betul begitu ?

Saya mau minta informasi seputar sanksi jika penjual membatalkan secara sepihak : 1. Sanksinya apa ? apakah betul sanksinya pengembalian tanda jadi sebesar 2 kali lipatnya . 2. apakah ada peraturan / undang-undang yang mengatur sanksi tersebut . 3. jika pembatalan ada unsur kesengajaan untuk menguntungkan pihak penjual masuk kategori PIDANA ( ada pembeli lain yang harganya lebih tinggi dari harga yang sudah disepakati ) atau karena suatu hal harus dibatalkan masuk kategori PERDATA ? 4. menurut pengalaman Bp. WAHYU lebih baik diselesaikan lewat jalur HUKUM ( POLISI / PENGADILAN ) atau secara kekeluargaan, untuk pertimbangan biaya yang timbul untuk proses di kepolisian / pengacara. Awal mula perkara sebagai berikut : Saya mengontrak rumah type 21 sampai akhir Juni 2009 , Awal bulan Juli 2008 pemilik rumah menawarkan kepada saya untuk membelinya dengan harga Rp. 35.000.000,- ( tanpa tawar menawar). Kita sepakat dengan membuat perjanjian diatas meterai Tgl. 11 Juli 2008 dengan tanda jadi Rp. 5.000.000,-pelunasan/kekurangan pembayaran dikasih tempo sampai akhir desember 2008. Kemudian pada Tgl. 02 September 2008 saya bayar lagi untuk pelunasan sisa angsuran kredit di BTN sebesar Rp. 5.767.940( untuk mengambil sertifikat ) dan pada Tgl. 10 September 2008 yang punya rumah minta tambah lagi Rp. 1.500.000,- sehingga total tanda jadi menjadi :
Tgl. 11 Juli 2008 : Rp. 5.000.000,- Tgl. 02 September 2008 : Rp. 5.767.940,- Tgl. 10 September 2008 : Rp. 5.000.000,- TOTAL TANDA JADI : Rp. 12.267.940,- Harga jual Rumah : Rp. 35.000.000,- Kekurangan pembayaran : Rp. 22.732.060,- dikurangi sisa kontrak : Rp. 331.034,- kekurangan yg hrs dibayar : Rp. 22.401.026,- untuk kekurangannya saya mengajukan kredit di BTN , pas mau akat kredit pada Tgl. 22 Desember 2008 baru muncul permasalahan istri dari pihak penjual tidak mau tanda tangan balik nama dengan alasan tidak setuju rumah dijual (padahal sudah berjalan 6 bulan kesepakatan jual beli dan waktu itu ada NOTARIS yang menjadi saksi kalo istrinya tidak mau tanda tangan dan sudah dijelaskan sama NOTARIS kalo batal ada aturan mainnya / sanksi tapi mereka tidak menggubrisnya) keliatan ada masalah intern mereka berdua (pembagian hasil penjualan). Dari pihak suami dia merasa rumah yg dijual bukan harta gono gini (di beli sebelum menikah) jadi hasil pembagian suami porsi lebih banyak tapi kemauan sang istri dia yang mengatur pembagiannya, gara-gara masalah itu jadi gagal akad kredit sampai sekarang belum ada kepastian (padahal jelas-jelas di perjanjian tertulis suami akan bertanggung jawab jika timbul sengketa atau masalah dikemudian hari atas penjualan rumah tersebut).
Pihak penjual sekarang minta tambahan uang sebesar 5.000.000,- dengan dalih untuk dana konpensasi biar istrinya mau tanda tangan apa nggak lucu mereka yg punya masalah kok di bebankan ke saya, mereka juga tidak takut diproses lewat jalur hukum karena yg batalkan istrinya bukan dia. Selang 4 hari berubah lagi minta tambah 3 juta tidak jadi 5 juta kalo tidak setuju mereka mengancam akan dijual kepihak lain dengan harga lebih tinggi (karena mereka menganggap perjanjian hangus karena lewat akhir desember 2008 padahal gara-gara mereka membatalkan sepihak jadi kelewat batas dari perjanjian) atau jika batal di cuma mau bayar 18 juta dari total sanksi pembatalan sepihak yaitu Rp. 24.535.880,- dengan dalih kemampuan mereka cuma segitu padahal dia punya aset : 1. Sebidang tanah (tegalan/kebun ). 2. Rumah yang sekarang mau saya beli. 3. Sebidang tanah hasil pembagian warisan tahun 2008. Sebaiknya langkah apa yang harus saya tempuh PAK SUMALI ? JAWAB : 1) Pasal 1464 KUHPerdata menyatakan bahwa jika pembelian dilakukan dengan uang panjar, maka salah satu pihak tidak dapat membatalkan pembelian tersebut dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjar. Jadi terkait dengan pasal tersebut, karena pembelian tersebut telah diberikan uang muka maka penjual tidak dapat mengklaim atas pembatalan perjanjian jual beli, dengan dalih apapun. Adapun sanksi bagi penjual yang membatalkan secara sepihak, pembeli dapat menuntut pengembalian uang muka pembelian, pengantian biaya, kerugian dan bunga serta biaya yang timbul atas transaksi jual beli tersebut (Pasal 1501 KUHPerdata). Mengenai pengembalian uang muka (tanda jandi), secara khusus tidak diatur tentang kewajiban penjual untuk mengembalikan 2 X lipat, namun hukum mensyaratkan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 1501 KUHPerdata (maaf, isinya terlalu banyak untuk dikutip :-D) 2) Peraturan secara khusus tidak ada karena transaksi jual beli secara umum telah diatur dalam KUHPerdata, yang tidak menutup kemungkinan jika ada indikasi pidana maka ketentuan pidananya tunduk pada ketentuan KUHPidana 3) Pembatalan perjanjian termasuk dalam lingkup Perdata, mengenai alibi seperti yang anda kemukakan, menurut saya, belum dapat dikatakan sebagai kategori PIDANA karena unsur menguntungkan bagi penjual secara hukum sah-sah saja diterapkan penjual. Jadi, jika anda bersikukuh pembatalan dengan unsur kesengajaan menguntungkan penjual, anda harus melengkapinya dengan unsur-unsur yang lain seperti adanya penipuan atau pemerasan. Saya tertarik dengan "penjual minta uang 5 jt yg kemudian turun menjadi 3 jt", bagi saya hal tersebut dia telah melakukan pemerasan dan segala bentuk transaksi jual beli yang dilakukannya dapat digolongkan sebagai penipuan karena pada kenyataannya si Penjual ternyata tidak dapat menyelesaikan permasalahan internal dengan istrinya. 4) Menurut saya, sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan karena hal itu adalah cara penyelesaian yang paling praktis dan mudah. Jika secara kekeluargaan ternyata tidak dapat diselesaikan, tentunya anda sebagai pembeli yang dirugikan memiliki opsi untuk penyelesaian masalah tersebut melalui jalur hukum ...Teruskan baca.."PEMBATALAN SEPIHAK DALAM JUAL BELI"